"Turut berduka cita, ya, Soobin."
Tanganku meremat rokku. Berusaha mengalihkan perasaanku ke sana.
"Iya, dok. Terima kasih. Sebagai anak ayah, saya mewakili ayah, mohon maaf apabila ayah semasa hidupnya melakukan kesalahan atau perbuatannya kurang tepat bagi dokter," ucap Kak Soobin sedikit melirik Mama di depannya. Dia terus menunduk sedari tadi.
"Iya, tidak apa. Ayah kamu orang baik kok." Mama berdiri sekilas dan menepuk bahu Kak Soobin dua kali. Seketika aura laki-laki itu terlihat lebih baik.
"Terima kasih, dok."
"Ma?" Mama melirikku yang berada di samping Kak Soobin. Bermaksud bertanya 'ada apa?'.
Tapi mulutku tidak sanggup mengatakannya. Jika aku berkata satu kata saja, aku pastikan air yang menggenang di mataku akan jatuh sekarang juga.
"Iya," ucap beliau memahamiku. Aku lekas berdiri dan keluar dari ruangan beliau.
Jatuh juga akhirnya air mataku. Berusaha untuk tidak sesegukan karena akan membuatku sesak, aku mencoba untuk menahannya lagi. Tapi nyatanya, aku tidak bisa. Aku menangis keras di salah satu kamar mandi RS.
Tidak sanggup aku melihat Kak Soobin seperti itu. Aku juga tidak bisa membiarkannya. Aku sakit. Hatiku juga. Aku benar-benar ingin membuatnya merasa lebih baik namun aku tidak bisa!
Baiklah, Lia. Cukup. Ada saat di mana kau harus diam dan berpikir saja. Jangan bertindak kalau kau tidak tahu konsekuensinya.
Ceklek! Kubuka pintu kamar mandi perempuan ini. Lepas cuci muka, aku merasa agak segar. Tapi tidak dengan mataku yang malah terlihat bengkak.
Astaga, Kak Soobin! Dia melirikku sambil berjalan pelan. Wajahnya pucat namun tatapannya tetap seperti biasanya.
Respon, aku menelan saliva. Kepalaku juga lekas menunduk menghindar dari lirikannya.
Tuk! Pintu sudah kututup. Kakiku melangkah ke arah yang berlawanan dengan Kak Soobin. Aku harus kembali pada Mama setidaknya untuk pamit pulang.
Semua anggota sudah pulang sedari tadi. Termasuk sepupu Kak Soobin.
"Makasih," ucap seseorang membuat langkahku terhenti. Kepalaku menoleh ke belakang dan kulihat Kak Soobin berhenti di tempatnya.
"Tadi itu mama lo 'kan?" tanyanya dan aku mengangguk.
"I-iya, kak," jawabku karena aku tahu dia tidak akan melihatnya.
"Bilangin makasih gua sekali lagi. Dokter Sabrin memang bisa diandalin," ujarnya kembali berjalan. Aku terenyuh di sini. Sebenci itukah dirinya padaku sampai dia tidak menoleh sedikit saja?
Di ruangan Mama, aku masih diam. Sedang Mama sibuk mengotak-atik laptop Dongpyo membenahkan sebuah dokumen.
"Kalian udah makan belum?" tanya Mama tanpa mengalihkan pandangan dari laptop itu. Dongpyo sudah datang kala aku ke sini. Entah apa alasannya.
"Belum," jawab Dongpyo dari kasur pasien di sana. Dia tiduran seakan tidak ada beban. Aku yang duduk di depan meja Mama hanya menggeleng.
"Pergi ke kantin sana. Pesen apa gitu? Biar Mama yang bayar nanti," suruh beliau membuat aku dan Dongpyo saling menatap satu sama lain. Anak ini memang—
"Duit aja, ma. Masa bayarnya nanti." Dongpyo bangkit dari tidurnya. Duduk di kasur itu.
"Kayak Mama ga tau kalo kalian sering keluar RS buat beli makanan. Di kantin juga ada," jelas Mama menghasilkan wajah kecewa dari anak bungsunya itu.
"Udah, pesen ke Om Jungwoo aja sana."
Alhasil kami pasrah tidak diberi uang nyata oleh Mama. Hanya secarik kertas berisikan 'Jungwoo, ini Dokter Sabrin. Tolong kasih anak-anak saya makanan apa saja yang mereka mau. Saya bakal bayar nanti. Saya masih ada kerjaan. Terima kasih'. Lengkap dengan tanda tangan Mama juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yeah, Alright ft. Lia ITZY
FanfictionKami asing, tidak mengenal satu sama lain. Terpaksa bertemu setiap hari di planet yang sama membuatku ingin menyingkirkannya. Nyatanya, aku yang menjadi bulan dan dia buminya. Itulah mengapa di dunia ada karma. Yeah, Alright. Setiap masalah pasti ad...