15

22 5 0
                                    

Lo suka sama Kak Soobin 'kan?

Apa terlihat seperti itu? Kalau pun ditanyakan, sepertinya sebagian orang bisa saja berpikir seperti itu jika melihat reaksiku. Ya, aku tiba-tiba marah dan memukul lengan Yeji.

Bukannya tidak terima, tapi aku sama sekali tidak pernah berpikir hal itu. Boro-boro bilang suka, untuk membencinya saja aku tidak berani.

Fuhhh, Yeji semakin membuatku overthinking di tengah-tengah dia yang sedang merencanakan akan berfoto dengan Kak Yeonjun. Anak ini memang di luar dugaan. Aku sampai bingung juga harus berbuat apa. Lebih baik diam.

"Kenapa lagi nih anak?" tanya Dongpyo pada dirinya sendiri kala berjalan di depanku. Dia sibuk mencari makan siang di dapur.

"Semoga Papa ga suruh gua masuk SMA lu, ya. Kayaknya bisa bikin stress banget," ujarnya membuatku melirik kesal ke arahnya.

"Lo bikin gua merasa jadi bahan percobaan." Lepas aku mengatakan itu, dia tertawa lalu duduk di depanku. Menikmati serealnya.

"Itulah gunanya punya kakak," gumamnya. Aku mendengar, hanya saja tidak ingin lebih lanjut.

Seandainya aku punya ka—

"Udah, jangan bahas dia." Mulutku mengatup cepat. Aku kira dia tidak akan mendengarnya.

"Kalo lo masih kebayang dia, lebih baik jangan. Gua muak," kata Dongpyo semakin mempercepat makannya. Ah, astaga, moodnya—

"Pelan-pelan. Bebas lo di rumah ga ada Mama, makan siang pake sereal," tegurku tapi dia tak peduli. Padahal aku berusaha mengganti topik.

"Iya, maaf. Ga lagi," ucapku. Dia melirik sekilas dan berdiri menaruh bekas makannya di tempat cuci piring.

"Awas lo keinget dia lagi. Ga terima gua." Duk! Pintu kamarnya dibanting cukup keras. Pundakku sampai terangkat sebentar.

Ya, dia paling sensitif jika ada yang membahas tentang kakak kami berdua. Seseorang itu pun sudah tidak ada sejak dia SD. Aku masih SMP saat itu. Yang aku ingat—

"Lino, senyum dong, sayang. Masa habis pulang sekolah ga senyum," kata Mama menyadari anak pertamanya itu datang.

Duk! Dia menutup pintu kamarnya persis seperti yang barusan Dongpyo lakukan. Lalu berikutnya, aku mendengar suara barang-barang jatuh dan teriakan seseorang. Tanganku gemetar mendengarnya.

"Cup, udah. Gapapa, kakak cuma capek sebentar. Main di luar, ayo." Mama mengajakku keluar bersama Dongpyo juga. Papa masih ada di toko dan tempatnya agak jauh dari rumah.

Ctarrr! Kaca samping rumah pecah. Aku dan Mama melihat ke arah si pelaku. Dia tampak marah masih dengan napasnya memburu.

"Dongpyo!" Mama menghampiri adikku itu. Dia masih shock melihat palu yang jatuh tepat di sampingnya.

"Kamu mau apa, Lino?!" tanya Mama hampir menangis. Aku terdiam di sini sampai akhirnya kakak keluar dari rumah membawa sebagian barangnya.

"Lino!" Dia yang hampir menaiki motornya lantas kembali berjalan ke arahku. Dari jauh aku lihat Mama berusaha berlari menghampiri anaknya ini kare—

"Baik-baik, ya. Jangan sampe kayak kakak," ucapnya dan aku menelan saliva. Tangannya yang berlumur darah itu mengelus kepalaku.

Kala Mama sudah berada di dekatnya, kakak lekas pamit dan membawa motornya entah ke mana. Sejak itu, kakak menghilang.

Dia membungkus tentang dirinya dengan sangat rapi sampai Papa yang melaporkannya pada polisi pun belum ditemukan sampai sekarang. Lalu kamarku yang sekarang, sebenarnya milik kakak.

Yeah, Alright ft. Lia ITZYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang