"Bun, Nia mau ke Gramedia dulu, ya, bareng Gio. Nia usahain pulang sebelum makan malem." Kataku saat menghampiri bunda yang sedang bersantai di ruang keluarga, ditemani Kak Shane versi sibuk meneliti dokumen entah apa.
"Cari buku, Dek?"
"Iya, biasa buat tugas."
"Novel atau gimana?"
Bunda kok tumben banyak bertanya?
"Hmm.. iya, Bun, novel." Kugaruk pipi kiriku ragu.
"Novel kamu masih banyak di kamar, kenapa perlu beli lagi? Memang udah nggak ada yang bisa dijadiin sumber literasi buat tugas kuliah kamu?"
Urusannya bakal panjang ini mah.
"Bukan begitu, Nia diminta cari teks asli bahasa Inggris, sementara novel di kamar Nia terjemahan semua. Paling nggak Nia punya satu gitu, Bun." Jelasku setelah duduk di sofa seberang.
"Download e-book aja nggak bisa?"
"Bisa, sih... cuma Nia mau lihat-lihat dulu, nanti Nia download kalau semisal nggak ada yang bagus."
"Udah sore ini, Ni, Gio mau jemput kamu jam berapa?"
"Kita ketemuan di sana, Bun."
"Terus, kamu pulang perginya mau dianter Kak Shane aja?" Bunda melirik Kak Shane, yang disebut malah menatap kami berdua bergantian.
"Nggak, Kak Shane masih kerja, Nia nggak mau ganggu." Tolakku tegas.
Biasanya, bunda bersikap terserah aku mau pergi ke mana saja asal selalu mengabarkan sebelum pulang ke rumah.
Biasanya, Kak Shane lebih suka bekerja di kamar atau ruang pribadi ayah di pojok kanan lantai dua dekat balkon utama.
Biasanya, aku tidak perlu membujuk bunda sekeras ini supaya mengizinkanku melepas penat sehabis kuliah.
Mengapa seolah aku dicegah melaut ke Karibia begini?
"Dek, kalo nggak salah Dewa koleksi buku-buku fiksi bahasa Inggris lumayan lengkap deh. Coba kamu ke kamarnya Dewa terus cek, siapa tahu nemu judul yang pas untuk referensi tugas kamu. Minta pinjem aja sebentar, pasti dikasih."
Solusi Kak Shane membahagiakan bunda, menepuk-nepuk pundakku semangat. "Tuh, mumpung kakakmu nomer 3 hari ini cuma di kafe setengah hari. Dia udah pulang lho, Ni. Gih samperin!"
"Jadi, Nia beneran nggak dibolehin pergi?" Aku berdiri tegak memohon kepastian.
"Sementara ini jangan boros, ya, Dek. Kalau butuh apa-apa, Adek ngomong aja sama Dewa, Juna, atau Kakak sendiri. Oke?"
Bunda memilih diam ketika Kak Shane menjawab lugas. Fine, aku turuti kemauan kalian semua.
Aku lantas berlari naik ke atas tangga, membanting tutup pintu kamar sekaligus menguncinya, melempar tasku ke sembarang, menghapus make up dengan tisu basah asal-asalan.
Aku benci sikap sok protektif yang Kak Shane tunjukkan tadi.
Aku tidak suka cara bunda membela Kak Shane.
Padahal aku memiliki tabungan sendiri untuk bisa membeli buku yang kumaksud, tidak ada keinginan merepotkan siapapun, bahkan jika bunda jujur bahwa keuangan keluarga sedang tidak lancar pun, aku justru rela berhemat sepenuh hati.
Kesannya, kini mereka bertiga tampak mencoba bertanggung jawab atasku supaya aku tidak menampung kucuran materi lagi dari ayah dan bunda.
Terharu? Apanya? Aku ingin segera keluar dari rumah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMADANA ✔️
FanfictionKania Srikandi tidak pernah menginginkan terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya di sebuah keluarga, bahkan dikelilingi tiga kakak lelaki kandung yang menganggapnya mutiara tak ternilai bukanlah suatu hal yang patut dibahagiakan, bila mengingat...