*Author's POV*
Alih-alih persidangan, hangatnya suasana makan malam Nia temui usai mandi dan berpakaian santai. Beberapa menu favoritnya seperti sayur sop dan tempe goreng bawang putih bunda sajikan di atas meja, termasuk hidangan lain kesukaan kakak-kakak kesayangan.
Adakah pesta? Bukan. Hanya semata dilakukan agar senyum Nia alami menabur indah melegakan mereka.
"Sini, Dek, makan." Ajak Shane sesampai Nia berdiri terdiam di anak tangga kedua.
Tumben komplit.
"Kalian kok pulang cepet?" Basa-basi si gadis kepada empat orang laki-laki lebih tua yang duduk mengelilinginya.
"Kerjaan Kakak cuma sedikit, maybe nanti lembur bentar kalo divisi lain butuh bantuan." Jawab Shane lembut.
"Cepet dong. Sengaja ngebut soalnya udah laper parah di jalan." Kelakar Juna.
"Siapa yang nggak pulang cepet pas tahu kamu kabur ke kafe Kakak, nangis-nangis peluk Irfan?" Sahut datar Dewa mengundang senggolan siku Juna.
Nia tidak ingin banyak bicara, tenaganya habis diraup lelah melepas cinta pertama demi sekedar menyangkal ucapan tajam Dewa.
"Makan yang banyak." Juna tersenyum membelai kepala Nia, menuangkan sop ke atas nasi. "Ini ada tempe, ayam, ikan, mau apa? Kakak ambilin."
"Aku bisa ambil sendiri."
Tukar pandang ayah, bunda, Shane, dan Dewa menghelakan napas Juna, lalu menahan tangan Nia.
"Kamu diem. Ikan, ayam, atau dua-duanya?"
"Ikan."
Tutur singkat Nia melesatkan Juna menyendok kakap goreng tepung asam manis dua kali, ditambah sepotong besar tempe, tak lupa sedikit kecap manis.
"Enak?"
"Enak. Makasih, Kak Juna."
"Sama-sama, sayang. Sayurnya dihabisin jangan lupa."
Sebenarnya, Juna ingin bercerita mengenai kondisi kantor pasca ditinggali berdua olehnya dan Hafizh, termasuk Hafizh yang belum sembuh bersikap murung, tetapi ia buru-buru menyadari Nia lebih penting dibanding dirinya.
Jika Juna demikian, apa kabar Shane?
Sudah beberapa malam Shane memimpikan ciuman pipi dan dahi terakhir Sisil, berikut lambaian tangan ceria begitu sejam kemudian pesawat yang akan ditumpanginya segera boarding. Shane enggan menampik mulai jatuh cinta pada Sisil. Namun, apa daya jika peri pemanah cinta memintanya menunggu, atau justru memerintahkannya berpaling.
Entah karena ayam kecap cabe ijo buatan ayah terlalu mantap atau perasaannya baru terasa membiru, Shane melelehkan air mata sambil terus mengunyah.
Kepergok Juna pula.
"HEH, KAK, LO KENAPA? Ehh.. tisuuu! Tisuuu!"
"Mau keselek itu biasanya mau keselek bentar lagii!" Seru Dewa.
Panik dan bingung teraduk menyatu. Ayah memberikan gelas air putih, bunda menepuk-nepuk punggung Shane lembut, Juna membantu Shane meminumkan air, Dewa mengomando Shane mengatur napas supaya tidak tersedak.
Nia mengelap mata Shane khawatir, beberapa lembar tisu tambahan dari Dewa turut ia bersihkan di area wajah dan bibir.
Heboh sekali, pemirsa.
"Aku nggak apa-apa." Ucap Shane menenangkan hati semua orang.
"Jangan lanjut dimakan kalo kepedesan, Shane. Nanti tenggorokanmu sakit." Beritahu ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMADANA ✔️
أدب الهواةKania Srikandi tidak pernah menginginkan terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya di sebuah keluarga, bahkan dikelilingi tiga kakak lelaki kandung yang menganggapnya mutiara tak ternilai bukanlah suatu hal yang patut dibahagiakan, bila mengingat...