Alarm ponselku berbunyi nyaring, mengerjapkan penglihatanku tak percaya mendapati tiga makhluk hidup terlelap nikmat mengelilingiku. Kak Shane ngorok di kasur bawah, Kak Dewa menguasai sofabed, dada Kak Juna menghimpit separuh tubuhku.
Ini apa-apaan?!
Kudorong Kak Juna demi meraih ponsel, menekan tanda dismiss, mengatur napasku tak mengerti. Ini pasti ada kaitan perkaranya dengan diriku yang sudah menjadi kekasih Gio.
"Pagi, sayangku Nia." Sepasang tangan Kak Juna terentang ke depan. "Sini tidur lagi, mumpung Sabtu."
"Pagi, Kak. Please.. kalian punya kamar sendiri-sendiri, ngapain ke sini?"
"Kenapa harus tidur di kamar sendiri kalo bisa sama kamu?"
Belum kujawab, Kak Juna menarikku cepat, mengakibatkan tubuhku mengerat dalam dekapannya.
"Kak! Iihh.. sesek!" Seumur hidup aku terbiasa tidur lasak, bebas, bertemankan guling dan si putih, bukan manusia rese' ini! "Keluar, ah!"
"Ckk.. giliran gandengan aja sama Gio nggak mau lepas, Kakak tempelin malah risih!"
"Nggak maaauu! Sana, ah!"
Kugigit dagunya kesal.
"ARGH! KANIAAAA! SAKEETT!" Jerit Kak Juna, terduduk kesal mengusap bagian wajah berharganya di saat aku tertawa lebar.
"Hahahahahah! Ada jerawat, dong! Ciiieee... udah mau 30 masih puber, Kak?" Godaku tidak main-main. Bukannya marah, Kak Juna menerjangku, mengunci pinggangku agar leluasa menghajarku menggunakan bantal.
Tidak mau kalah, kujambak rambutnya.
Perang saudara itu tak terelakkan sampai Kak Dewa perlahan-lahan bangkit setengah badan menendang selimut, menggapai kacamata untuk dipakai, memandang ngantuk kami berdua, lanjut menguap tanpa ditutup.
Aku dan Kak Juna belum puas bertarung di arena MMA empuk, tidak peduli Kak Dewa tersenyum menonton sambil mengecek mini iPad-nya, bersiap nge-game. Sedangkan rintihan, tawa, teriakan, properti tidur acak-acakan mewarnai masa tenggat menjelang KRS-ku, mengundang bunda membuka pintu kamar, membuat beliau berdiri bersedekap.
"Bisa-bisanya Shane nggak keganggu suara kalian, Juna, Nia? Kamu juga, Dewa, bangun tidur langsung log in PUBG padahal cucian udah siap dijemur."
"Pagi, Bundaa!" Sapa kami bertiga, menghelakan napas lelah bunda.
"Pagi, Anak-Anak. Silakan main lagi, asal jangan berisik." Titahnya memimpin langkah mendekati Kak Shane, membangunkannya lembut. "Shailen.. cah bagus. Bangun, Nak. pindah tidur ke kamar kamu, yuk.. nanti kena tonjok Juna sama Nia, lho, boro-boro ganteng yang ada bonyok. Ya, sayang?"
Mantap, suara sehalus bidadari itu mampu membuka mata Kak Shane, mengedip-ngedip lucu menemukan bunda duduk tersenyum di tepi kasur.
"Jam berapa, Bun?"
"Jam kulit kurang bulu, Kak." Iseng Kak Juna. Kak Dewa dan aku ngakak kencang.
"Arjuna!" Tegur Bunda. "Jam 07.15. Nggak apa-apa kalo capek bobok lagi, Shane."
Kakak sulungku tersenyum tenang, enggan menghiraukan candaan Juna. "Shane mandi dulu, ya, Bun. Habis itu Shane bantu Bunda masak sarapan."
Ia beranjak bangun, merapikan kasur, melipat selimut, menata bantal dan guling tambahan di atasnya, lalu mengelus kepala Kak Dewa, memijat ringan pundak Kak Juna, mencium pipi kiriku seraya berkata...
"Pagi, Adek-Adeknya Kakak."
"Pagi, Kak Shane." Sambut kami bertiga, sebelum melangkah mengikuti bunda menuju kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMADANA ✔️
FanfictionKania Srikandi tidak pernah menginginkan terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya di sebuah keluarga, bahkan dikelilingi tiga kakak lelaki kandung yang menganggapnya mutiara tak ternilai bukanlah suatu hal yang patut dibahagiakan, bila mengingat...