20 - Tirai Kebenaran

286 59 19
                                    

*Author's POV*

"Jangan belajar kemaleman, Nia." - Ayah.

"Dek, kamu yakin mau pulang sendiri? Kakak jemput di depan halte kayak biasa, oke?" - Dewa.

"Masa' nggak makan malem sih, Nia? Kalau kamu sakit, gimana?" - Bunda.

"Nia sayang, Kakak bantu rapiin sekalian nge-jilid, ya? Ini print-an kamu banyak banget, lho." - Shane.

"Kakak nggak terima penolakan. Mandi sekarang atau Kakak jorokkin ke salon?" - Juna.

Yang selalu dijawab...

"Nggak usah, aku nggak apa-apa. Nanti aja, gampang." - Nia.

Itu baru keluarganya, lain lagi dengan...

"Gila! Bisa-bisanya lo selesein tugas Bu Maya sehari! Itu mata nggak capek baca bukunya Kumar setebel dosa gue?!" - Irfan.

"Lo diomongin di kelas gue sama Gio, Ni, tugas presentasi lo yang paling cihuy penjelasannya." - Olivia.

"Punya ambisi boleh, mau besok jadi astronot juga silakan, tapi lu nggak bego buat tahu kapan waktu istirahat kan?" - Dimas.

"Kalo kamu nggak mau berbagi beban, berarti aku cuma pajangan lockscreen HP kita berdua." - Gio.

Tentunya disahut simpel berupa...

"Gue cuma pengen cepet lulus, gais."

"Kamu pasanganku, Gio, bukan samsak hidupku."

Mereka tidak bodoh, Nia terlalu banyak memendam perasaan selama minggu semester 5, mengakibatkan semua orang bertanya-tanya.

Aneka tugas menanti, teman-teman baru mendekati, pertemuan dengan sepupu kembar, sahabat, dan kekasih hanya terjalin setiap jam istirahat siang dan kelas selesai di atas pukul 17.00 WIB.

Selama itu pula, niat Nia membaca surat dari Amara menipis. Belum pula jadwal terapi rutin yang penting gadis itu jalani, semakin rendah minatnya menelisik paparan kalimat Amara.

Kesibukan tak berkesudahan membisukan bibir Nia jika tidak ada obrolan penting di rumah, cukup menjawab singkat, mengangguk atau menggelengkan kepala. Ditambah untaian senyum lelah, menerbitkan iba orang tua dan ketiga kakaknya.

"Nia mau tambah lodeh tempenya lagi, Nak?" Tawar bunda.

"Nggak, Bun. Makasih."

Tumben sekali putrinya bermuram durja. Bunda melirik sedih ke arah Shane.

"Jangan diaduk terus, sayang. Dimakan, kasihan nasinya nangis." Beritahu Shane lembut.

Si adik tersenyum, menikmati isi piringnya pelan-pelan.

"Mau pake kecap, nggak?" Juna berpikir, mungkin rasa manis akan menambah nafsu makan Nia.

"Boleh, Kak."

Raut muka mereka meluas lega begitu Nia mengambil botol kecap dari tangan Juna, menuangkannya sedikit ke atas kerupuk.

"Jangan ada yang begadang. Habis makan langsung istirahat." Tegas ayah.

"Iya, Yah, Shane capek banget. Pengen tidur cepet."

"Sama, Yah. Lagian kerjaan Juna udah beres sebelum pulang."

"Dewa juga OTW nih, Bunda baru cek chat-nya."

Anjir, gue ngutang paper 2 makul. Mana kudu kelar lusa. Semoga mereka nggak ngecek kamar satu-satu.

Perempuan muda berpiyama kotak-kotak merah hitam serba panjang itu buru-buru meneguk air putih, mengangkat piring dan gelas kosong ke dapur belakang, mencuci, membilas, mengelap, lalu menata sepasang alat makan tersebut ke dalam rak.

PRAMADANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang