48 - Dokter Permen

140 17 0
                                    

*#NowPlaying Andra and The Backbone - Sempurna* 🎶🎵

***

"Habis ini mau langsung pulang?" Dokter Varen bertanya lembut usai sesi terapi rutin.

"Iya, Dok. Biasa, ngerjain tugas kuliah." Jawabku sumringah. "Gimana perkembangan kondisi scoliosis saya?"

"Cukup bagus. Apalagi kamu disiplin, nggak pernah bolos terapi dan selalu pake brace. Tahu, nggak, kabar terbaiknya apa?"

Kepalaku miring sedikit menanggapi.

"Kamu nggak perlu operasi."

Pernyataan Dokter Varen menaikkan harapanku setinggi puncak mahameru. Kututup mulut mengangaku, kurasakan aku akan menangis sebentar lagi. Mana aku datang sendiri, semua orang sibuk tidak ada yang bisa menemaniku. Tiba-tiba vonis menyenangkan ini kudengar tanpa saksi lain, bagaimana dadaku tidak melapang lega?

"Beneran, Dok?"

Dokter Varen menunjukkan foto rontgen-ku 2 hari lalu. Tangannya sangat ahli menggambar garis-garis di beberapa sudut. "Dari 90 derajat menuju 45 derajat. Selamat, Nia. Kalau sudah 40 derajat, latihannya kita ringankan. Oke?"

Tangisku mengeras, mengundang senyum simpati terapis wanita yang sejak awal mendampingiku. Dirangkulnya bahuku lembut.

"Nayla, silakan kembali ke ruangan. Saya masih ada urusan pribadi dengan Nia."

"Baik, Dok. Mbak duluan, ya, Nia."

"Iya. Makasih banyak, Mbak Nayla."

Usahaku sekaligus doa setiap hari membuahkan jawaban bersinar. Keluargaku tidak perlu mengeluarkan banyak uang. Kakak-kakakku tidak lagi bekerja terlalu keras. Aku juga bisa beraktivitas lebih baik. Ya Tuhan, inikah yang dinamakan berkah utama?

Mereka harus tahu secepatnya.

"Temenin makan, yuk, Ni."

Sebentar. Aku terkejut diajak tiba-tiba seperti ini. Snellinya digantung rapi, menyisakan sehelai kaus hitam polos pas badan disertai beige cargo pants sambil menggenggam ponsel dan dompet, Dokter Varen menggandeng tanganku keluar dari ruangan pribadinya. Entah aku akan dibawa ke mana, mungkin kantin rumah sakit.

"Kamu mau apa? Biar saya yang pesen." Tawarnya ramah.

Duhh.. kalau ada Olivia dan Anyelir, pasti lenganku babak belur ditampar, disenggol, disikut, dicubit sana sini.

Manis banget sih, Dok, saya jadi pengen kunyah meja.

"Makasih, Dok. Saya udah makan sebelum ke sini." Kataku jaga imej.

"Ngemil mau, nggak?"

Ide bagus. Kucari-cari penjual kudapan ringan, hingga mataku tertuju pada stall di sayap kiri kantin.

"Saya pesen susu cokelat panas aja, Dok."

Eh, kenapa punggung tangannya menempel di jidatku?

"Nggak demam. Nggak enak badankah? Kok tumben nggak pengen minum dingin?"

Oh, astaga.. perhatiannya...

"Saya nggak apa-apa, Dok." Duh, ngeles terus.

"Oke. Kamu tunggu di sini, ya."

Nia, sumpah. Perasaanmu untuk Gio masih tetap sama sampai semalam. Cuma gara-gara hal simpel begini kamu sampai terpesona?

Aku jadi ingat kata Irfan semalam setelah kita saling menelepon menuntaskan tugas kelompok yang dipresentasikan tadi siang.

PRAMADANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang