26 - Dear, Shane... I

282 35 11
                                    

*Shane's POV*

Usia kepala tiga menurut sebagian besar orang merupakan fase dewasa penentu tujuan hidup ke mana kaki akan melangkah dan menetap, memilih tinggal, jalan di tempat, pergi, atau menanjak, kuat mempertahankan prinsip, mengubah diri lebih baik, mapan, dan bersahaja.

Harapan mereka, tidak dengan keluargaku, aku akan membangun hubungan setia bersama seseorang yang rela menerima apa adanya seorang Shailendra Utama. Aku tidak menyalahkan apalagi membenarkan, melainkan cukup tersenyum merespon barisan kalimat itu, entah diiringi nada bersifat denotatif atau sebaliknya. Hal yang di luar pengetahuan mereka, tak perlulah kujelaskan, tidak juga kuuntaikan, meski kadang ingin berseru keras.

Aku sangat merindukan harmonisme sebuah keluarga.

Suara-suara benda beradu bersahutan di lantai bawah seperti aku tuli dibuatnya, padahal sepenuhnya sadar bahwa bunda, Juna, dan Dewa ikhlas hati bangun pagi-pagi sekali memanggang kue dan memasak nasi kuning. Aromanya masuk menusuk, mengisi penuh perasaanku yang sempat mengikis tipis akibat perlakuan tidak adilku terhadap salah satu adik kami bertiga. Sementara, subjek yang kusebutkan ini betah memelukku sejak semalam. Suhu badannya agak panas, ketika kutempelkan plester kompres demam di dahinya, ia justru malah memintaku menemaninya beristirahat di kamarku.

Tidak masalah. Asal si gadis cuek, jutek, sangat perhatian berpiyama My Melody berwarna merah muda pastel ini lekas sehat.

Kubeberkan beberapa jawaban mengapa kerukunan keluarga begitu kuimpikan. Pertama, aku ingin lebih banyak berbakti kepada orang tuaku. Kedua, aku ingin lebih menyayangi adik-adikku. Ketiga, saat ini kebahagiaanku adalah mereka. Terdengar melankolis, bukan? Tentu.

Kak Shane menurut Juna, Dewa, dan ini memang sosok yang tegas, kadang galak, serta suka mengatur jika ayah dan bunda belum pulang ke rumah. Juna sering kularang lembur di kantor kalau cuma mau nonton bareng Liga Inggris bareng Dean dan Hafizh, kaset game Dewa berani kusita jika urusan pentingnya dilalaikan, hah.. Nia? Jangan tanya. Jarang bicara, namun bengal setengah mati.

Sembahyang harus terus diingatkan, pergi ke vihara seminggu sekali malas minta ampun, beli buku seminggu bisa 3x (itulah kenapa aku mengetatkan pengeluarannya), pulang dari perpustakaan kota suka lupa waktu, bahkan melakukan aktivitas yang bisa membahayakan tulang belakangnya bila tidak diperhatikan. Nia berbeda dari Juna dan Dewa, karena semakin kularang, ia semakin menuntut kebebasan. Akhirnya, mau tak mau Irfan, Shane, Gio, Dimas, Olivia, dan Varen kumintai tolong agar menjaganya kapanpun di manapun, demi kesehatan anak itu sendiri.

Sekarang, semua terlarut sibuk. Pekerjaan menjadikanku bolak-balik ke luar kota. Jadwal meeting Juna bertambah. Dewa lebih fokus mengurus kafe agar tidak kecolongan kemasukan orang misterius yang seenaknya nyelonong nggak bayar. Nia sebagai panitia acara kampus mulai kelewat batas, alias hampir selalu pulang di atas pukul 23.00, beralasan mengerjakan tugas kelompok lanjut rapat, dan sebagainya. Cuma ayah si PNS santai penuh tanggung jawab, dan bunda sang penyelamat kebutuhan seisi rumah yang siap sedia.

Sekali saja, aku ingin menghabiskan masa dalam kondisi normal berenam. Sama dengan Om Hendra, Tante Mirna, Amara kala masih ada, Dimas, dan Olivia yang suka bepergian ke tempat terdekat walau menyenangkan. Minum kopi bareng di minimarket, misalnya? Atau sekedar salat berjamaah di Masjid Istiqlal.

Huffhh.. walaupun demikian... aku begitu menyayangi Keluarga Pramadana. Garda terdepan sekaligus sandaran nafkah kedua kuemban sejak lahir, aku pantang bersikap egois dan wajib berbahagia, bagaimanapun keadaannya.

"Kakk.." suara serak Nia tidak menghentikanku memandang wajah tidurnya. "Jam berapa?"

"Buka dulu itu matanya, baru nanya." Isengku.

PRAMADANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang