"Silakan, Mbak Nia."
"Makasih, Anna."
"Mbak Nia nunggu Pak Dewa atau temen? Kebetulan Pak Dewa masih ada meeting."
"Saya nunggu Irfan."
Anna lalu menyunggingkan senyum maklum, izin permisi kembali ke kasir sambil membawa nampan, seolah tidak tega berbicara denganku versi sembab berikut napas setengah sesak tertahan.
Segelas ice vanilla latté di hadapanku pun deras mengembun, mewakili sendi letihku membawahi langit secerah langkah Anna melayani pelanggan lain.
Kenapa maafku sudah terbuka untuk semua pihak, kebahagiaan yang kupertahankan melesat meninggalkanku sendiri?
Kenapa cermin persahabatan yang retak ingin kuperbaiki malah membentuk tepian lara yang sempurna?
Kenapa, Gio? Aku kurang cantikkah? Irfan kurang menyenangkan? Dimas bersikap kurang ajar? Suara Olivia kurang mengecil?
Mengapa penderitaan terus menerus kujumpai?
"Hai, Nia." Sapa Irfan, meletakkan ranselnya santai. "Lo udah pesen kopi?"
"Ice matcha latte punya lo on the way dibikinin Bima." Kataku dilapisi senyum tipis.
"Thanks anyway, padahal nggak perlu repot-repot."
"Sengaja. Karena seterusnya gue bakal sering repotin lo, Fan."
Dahi cowok ganteng itu mengernyit bingung, mengambil selembar tisu, mengelap wajah berkeringatnya. "Bentar, bentar. Kok latar belakang cerita lo misterius sih? Ada apa?"
"Baca sendiri."
Tidak hanya aku. Sisi baik Irfan ternyata memungut hal serupa. Penengah keras kepalaku dan celetuk dingin nan tajam, penetral situasi, sekaligus tak kalah pintar dari Dimas soal akademik meneteskan air mata sedih tak percaya begitu menilik satu per satu kata yang Gio tuliskan.
Jika mulut Irfan menganga, permukaan wajahnya basah, sudut bibirnya bergetar, maka aku kembali mengisak minim rela.
"Nia," Irfan melirih sakit. "Kapan surat ini lo terima?"
"Tadi pagi dikasih bunda."
"Terus, dia say goodbye gampang gini tanpa pamit apa-apa sama gue? Peluk sedetik doang? Saling maafan biar kata lebaran udah lewat? Nggak ada?" Tuntut Irfan, aku cuma mampu mengangguk pelan.
"Gio sahabat kita, Ni, sejahatnya dia.. sekurang ajarnya dia... Gio satu-satunya sahabat cowok gue jaman sekolah yang masih awet sampe sekarang, Nia..."
Aku memaklumi perasaan Irfan. Irfan baru berteman dengan Dimas dan Olivia ketika kuliah, sementara Gio dikenalnya sejak di tempat les tatkala mereka masih duduk di bangku SMP. Irfan pernah bercerita, semasa SMP-nya penuh bully berhubung rupa fisik cowok itu selalu dibingkai kacamata minus berlensa tebal, rambut berponi mangkok, dasi dan sepatu rapi bin licin. Namun, hebatnya tidak sekali pun Gio ungkit apalagi menjauhinya. Gio mengajarinya sedikit teknik beladiri agar tidak dipandang lemah oleh teman-teman SMP Irfan.
Jadilah sewaktu masuk SMA, Irfan sungguhlah berbeda, tergolong mencolok dibanding deretan kakak kelas tampan menawan. Dari mulai MPLS hingga purna widya.
Tekstur surat Gio lecek tidak karuan diremas Irfan, direngkuhnya erat menutup dada, memancingku melakukan tindakan demikian.
Kami berdua menangisi kepergian Gio ke New York bersama-sama.
Lucunya, Bima peka atas situasi haru biru ini. Ia lantas buru-buru menyodorkan sekotak facial tissue.
"Makasih, Bim." Ucap kami serak.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMADANA ✔️
FanfictionKania Srikandi tidak pernah menginginkan terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya di sebuah keluarga, bahkan dikelilingi tiga kakak lelaki kandung yang menganggapnya mutiara tak ternilai bukanlah suatu hal yang patut dibahagiakan, bila mengingat...