51 - Sudah Tugas Kakak II

102 14 0
                                    

Sate Pak Manto sebagai destinasi pertama kami usai meletakkan barang-barang besar di kamar hotel adalah alasan mengapa aku sangat bersyukur atas keakraban persaudaraan ini.

Aku sekamar dengan Kak Juna, mewujudkan keinginan Kak Shane menghabiskan waktu berkualitas bersama Kak Dewa. Memang di antara empat bersaudara, Kak Dewa jarang berkomunikasi. Sifat aslinya pendiam, meski beberapa kali kadang menyakiti hati lewat perkataan anti filternya.

Walau aku tidak terlalu suka daging kambing, kita bahkan tidak bisa makan daging sapi, jadilah sate ayam tak kalah nikmat hingga mulut ini memilih tertutup rapat, mengunyah pelan-pelan, saling melempar kontak mata pertanda enak tiada tara.

"Siapa mau tambah es jeruk?"

"Gue!" Kak Dewa mengangkat tangan menjawab Kak Shane. "Jeruk anget maksudnya, sorry."

Tawaku mengudara mendengar ralatnya begitu mata Kak Shane melotot tajam.

Badan kurang sehat kok berani minum es depan tetua kelompok? Uji nyalikah?

"Aku tambah seporsi lagi, boleh nggak?" Pintaku.

"Boleh, Nia sayang."

Pesananku tiba pada menit kesepuluh. Mereka menatapku makan penuh minat.

"Kalau ada yang mau diomongin, bilang aja nggak apa-apa. Tapi jangan soal pujian atau semacemnya, aku nggak siap, ngeri alergi geli-geli gitu." Kataku langsung ke sasaran. Ketiganya langsung meringis sok imut.

"Adeknya Kakak udah gede. Bisa mikir sendiri, bikin keputusan sendiri, tanpa tanya kita-kita apalagi ayah bunda." Kak Shane memulai pembicaraan. "Gimana rasanya 'ditembak' sahabat Kakak? Move on dari Gio? Kamu belom cerita, lho."

Demi rok diskon Dolce & Gabbana incaran Olive yang entah kapan bisa dibeli, aku sudah tahu hal ini akan terjadi. Ditambah muka-muka sumringah mereka menanti jawabanku, semakin tidak tega jika terus kurahasiakan.

"Rasanya bingung, takut, malu, sedih, pengen marah, seneng ada cuma dikit. Nggak nyangka aku disukai orang-orang yang kukenal, tapi aku juga nggak mau main-main. Lebih baik sendiri daripada buang waktu mikirin perasaan nggak jelas. Andai Gio nggak ada niat selain jalani semua berdua sampe waktunya tiba nanti, mungkin aku nggak bakal tahu Kak Varen sejalan sama aku."

"Kak Richie udah kuanggep kakak tingkatku yang paling baik, lagian perasaannya sesaat, aku yakin dia bisa pindah ke lain hati. Anyelir, misalnya? Who knows? Dimas sih naksir doang, aksinya nol. Mending aku support mereka yang pernah dan mau jadi presiden mahasiswa sekalian."

"Tapi.. tolong hargai rencana hidupku selanjutnya, ya, Kak? Aku nggak mau buru-buru nikah. Aku masih pengen kerja, buka bisnis kayak Kak Dewa, bahagiain ayah bunda, banggain kalian semua."

Detik itulah Kak Dewa tertawa merangkulku, diselingi belaian halus di lenganku oleh Kak Shane dan Kak Juna.

"Tuh, kan, apa Kakak bilang. Seiring berjalannya waktu, kamu bertumbuh dewasa. Ahh... habis ini kamu lulus kuliah, Nia, wisuda... kerja di perusahaan bonafid... buka studio tari, jadi pelatih tari tradisional bersertifikat, terus nikah... duh, kok rasanya Kakak kurang ikhlas ngelepas kamu tapi harus." Kak Shane mengucap sendu, mengundang air mataku membebaskan diri meluncur membasahi kelopak.

"Sekarang perasaanmu gimana?" Tanya Kak Juna.

"Nggak gimana-gimana. Aku seneng kita jalan-jalan berempat keluar kota kayak gini. Sayang nggak bisa sering-sering, hehe."

"Boleh aja keseringan, yang penting kamu seneng." Celetuk
anak cowok terakhir ini kacau, kebanyakan pergi kapan kerjanya?

"Kalian sibuk melulu, baru ada waktu buatku setahun belakangan. Wajar aku pengen sering." Pancing sebentar bolehlah, ya?

PRAMADANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang