"Kehilangan itu dateng nggak tiba-tiba, perencanaannya di luar kuasa pengetahuan kita. Gue harap ke depannya lo bisa lebih ikhlas, karena bakti lo banyak berkahnya bagi Almarhumah semasa hidup."
H-3 menjelang UAS, Kak Shane mengajakku pergi ke rumah salah seorang rekan kerjanya, memberi penghormatan terakhir atas kepergian ibu sang pemilik rumah menuju alam bahagia. Kudengar Kak Shane berucap barusan, sedikit menimbulkan ragu bagiku.
Benarkah kalimat itu nyata adanya, setelah setahun tanpa pendampingan Amara?
"Gue pamit pulang dulu, maaf nggak bisa anter sampe makam."
"Nggak apa-apa, Pak Shailen. Terima kasih sudah berkunjung. Dek Kania juga, terima kasih."
Kutepuk pundak kiri lelaki berkacamata itu kuat-kuat. "Yang sabar dan tabah, ya, Kak. Sampe ketemu lagi."
Ia melambaikan tangan pada kami berdua, senyumnya tersemat tulus. Mungkin Kak Shane adalah orang yang disegani sekaligus disenangi di kantor, aku bisa merasakan para pelayat yang satu lingkungan dengannya sungguh menghargai kehadiran Kak Shane.
Apalagi saat Kak Shane mengenalkanku di depan banyak orang tadi, kukira mereka akan kaget berhubung pertama kali melihatku. Tetapi...
"Salam kenal, Kania. Woahh.. ternyata anaknya cantik."
"Saya tahu Pak Shailen punya adek perempuan, nggak nyangka semirip ini sama kakaknya."
"Pak Shailen, butuh ipar cowok sekarang, nggak?"
Dan segelintir basa-basi sanjungan lainnya, siap menerbangkanku keliling alam semesta, menyadarkanku bahwa aku berhasil dianggap sebagai adik kandung Kak Shane di usia 21 tahun secara resmi.
"Mau mampir ke mana habis ini, Dek? Kakak hari ini nggak kerja." Kak Shane memutarkan setir bulatnya ringan, melaju meninggalkan rumah duka.
"A-aku nggak tahu, aku nggak bawa baju ganti. Lagian, kenapa kita nggak dateng di acara proses pemakaman ibunya temen Kakak?"
"Makam mendiang ibu temen kerja Kakak satu kompleks sama rumah baru Amara, kamu yakin mau ke sana?"
"Lho, kenapa nggak?"
"Kamu siap ketemu lagi sama sepupu favorit kakak-kakakmu? Kamu bahkan belom sepenuhnya baikan sama Dewa. Kakak tahu Amara, dia pasti sedih kalo kamu masih nyimpen dendam."
Dibahas lagi, saudara-saudara.
"Terus, Amara nggak suka apa selain itu, Kak?" Pancingku sengaja.
"Kania, Kakak lagi nggak mau berantem di jalan."
Yang buka cakap duluan perihal ini siapa, woy? "Maaf, Kak. Refleks. Nanti aku pikirin kapan bisa ketemu Amara baik-baik."
"Maaf kalau omongan Kakak nyebelin. Kakak nggak pengen kamu sedih lebih lanjut."
"Hmm.. nggak apa-apa."
"Kamu mau jalan-jalan, nggak? Apa ada yang mau kamu beli?"
Mood-ku sempat menurun, hanya saja menurutku tak ada salahnya menghabiskan waktu bersama Kak Shane berdua. Kualihkan wajahku menghadap kaca jendela mobil, mencoba berpikir jernih.
"Kamu mau beli novel, main bowling, nonton film, atau ngopi? Bilang aja." Tawar Kak Shane menarik hatiku.
"Aku mau semuanya tapi nggak nonton film. Boleh nggak, Kak?"
"Boleh dong, sayang."
***
Bermain bowling bareng Kak Shane lumayan menguras tenaga. Jangankan jago, aku perlu diajari intensif bagaimana cara memegang bola dan meluncurkannya ke lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMADANA ✔️
FanfictionKania Srikandi tidak pernah menginginkan terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya di sebuah keluarga, bahkan dikelilingi tiga kakak lelaki kandung yang menganggapnya mutiara tak ternilai bukanlah suatu hal yang patut dibahagiakan, bila mengingat...