"Ada berapa kelas hari ini, Dek?"
Kak Juna bertanya padaku, dikunyahnya nasi goreng pelan sembari memandangku penuh arti. Siapapun tahu, Kak Juna ingin menjemputku dan mengajakku ke tempat-tempat menyenangkan supaya aku tidak stres pasca UTS.
Sayang, sulit kujadikan nyata.
"Ada 2 kelas, jam 10 sama jam setengah 4." Jawabku langsung pada inti. Lantas, kuteguk habis jus jeruk dan membawa gelas kosong ke dapur, hendak kucucikan.
"Eh, siniin gelasmu, Dek, Kakak bilas sekalian."
Giliran Kak Dewa mengembangkan senyum, mengulurkan tangan yang baru saja dilap kering.
Tentu kutolak. "Aku bisa sendiri."
Kak Dewa terdiam, kemudian mengelus pucuk kepalaku sebelum melangkah kembali ke ruang makan. Kuhela napasku panjang, mengingat permintaanku tinggal mandiri di apartemen ditentang ayah, bunda, dan ketiga orang lelaki tertua semalam. Padahal aku sengaja tidak mau mengganggu mereka untuk mengantar jemputku, menungguku pulang larut malam, termasuk pergi menemaniku ke sana kemari.
Salahkah aku?
Kutatap arloji yang melingkari pergelangan tangan kiriku, kurasa sudah waktunya aku bersiap beranjak ke kampus. Karena jika lebih lama lagi berada bersama mereka, kepalaku bisa sakit.
"Yah, Bun, Nia berangkat." Kucium tangan kedua orang tuaku, lalu kuikat tali sepatu di teras depan.
"Kamu mau naik bus? Atau ojol?"
"Bus, Kak."
"Hati-hati, kabari kalau udah sampe kampus."
Aku tidak menoleh ke belakang kala Kak Shane (*dibaca Syein) mengatakan kalimat perhatian itu, cukup mengangguk, membuka pintu pagar, dan mulai melangkah meninggalkan perumahan menuju halte bus terdekat.
Aku tahu, mereka sedang berusaha memperbaiki hubungan kami berempat usai kematian sepupu perempuanku, Amara, yang sangat mereka sayangi melebihi diriku, adiknya sendiri, setahun kemarin. Amara memang mengalami sakit keras, nyawanya tidak tertolong ketika keinginannya menyelesaikan kuliah belum terwujud, menyebabkan seluruh anggota keluargaku merasakan duka cita mendalam.
Kak Shane, Kak Juna, dan Kak Dewa amat mengunggulkan, menomor satukan, tidak pernah absen menghibur, dan menjaga Amara bak permata berharga. Sedangkan aku, Nia, harus terbiasa hidup tanpa kasih sayang mereka sejak kecil. Jika aku mengajak mereka makan es krim, maka mereka akan menjawab...
"Adek makan sendiri, ya, Kakak mau temenin Amara kerjain PR."
"Adek beli es krimnya sama Bunda, ya, Kakak mau ke rumah Amara."
"Kakak lagi main sama Amara, kamu makan sambil nonton TV aja."
Berakhir aku terpekur sendiri menangkap tawa canda mereka tertuju kepada Amara seorang, ketika cinta ayah dan bunda kepadaku tidak pernah berkurang.
Kala mereka enggan meluangkan waktu demi aku, ayah atau bunda pasti bergantian memelukku, menyayangiku, dan mengajariku banyak hal.
Pernah suatu kali aku bertanya...
"Ayah, kok kakak-kakak nggak mau deket Nia, apa Nia nakal?"
"Nia nggak nakal, Nia juga nggak salah apa-apa. Kakak-kakak lagi sibuk, jadi belum bisa main sama Nia. Lagipula, Nia anak baik, Ayah sama bunda sayang Nia." Jawab ayah.
"Nia juga sayang Ayah, bunda, sama kakak-kakak, Yah."
Maaf, Ayah, Nia terpaksa berbohong mengatakannya di usia 4 tahun. Hati Nia sakit, mengapa mereka bertiga menghadiahkan kado yang bagus ketika Amara ulang tahun? Namun, aku justru bersabar cukup dengan ucapan dari mereka setiap tahun?
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMADANA ✔️
FanficKania Srikandi tidak pernah menginginkan terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya di sebuah keluarga, bahkan dikelilingi tiga kakak lelaki kandung yang menganggapnya mutiara tak ternilai bukanlah suatu hal yang patut dibahagiakan, bila mengingat...