5 - Percaya

527 53 14
                                    

Aku duduk menyendiri di lantai kamar sepulang dari kampus, menangisi kebodohanku yang mengisi jawaban kuis asal di menit-menit terakhir, meluapkan sesal dan sedih sebanyak mungkin. Beruntung, anggota keluargaku lainnya belum tiba di rumah. Aku bisa membebaskan sesak dalam dada diiringi moody playlist dari aplikasi ponselku.

Meski Dimas dan Olivia terus menenangkanku, Irfan mengatakan ada beberapa nomor yang tidak terisi, Gio juga mengawasiku makan siang di kantin agar aku tidak melewati bagian penting dalam kehidupan, tetap saja kurang adil jika mengingat kenapa aku harus menuruti saran bunda untuk kuliah Manajemen.

Aku lebih suka menari, terutama tradisional, aku ingin belajar menari sampai perguruan tinggi. Andai tulang punggungku lurus, pasti aku tidak akan selelah ini. Namun, jika ini adalah buah karma dari kehidupanku sebelumnya, tolong ingatkan aku untuk bersikap lebih baik sekarang supaya kebahagiaan senantiasa menyertaiku.

Semburat jingga mentari menerobos masuk membayangi wajahku, memintaku agar berhenti bersedih karena kedua kakak sulungku sudah memarkirkan kendaraan, langkah kaki mereka menuju kamar masing-masing pun terdengar.

Lagu Westlife berjudul My Love mengalun. Demi mengusir hawa suram, kucoba dendangkan sambil membersihkan wajah kusamku dengan selembar kapas yang dibasahi micellar water.

Overseas from coast to coast, to find the place I love the most. Where the fields are green, to see you once again, my love~

Aduh, bagus sekali. Apa yang pencipta lagunya pikirkan sewaktu menulis dan mengaransemennya, ya? Apakah ia pernah mengalami kesulitan yang sama sepertiku, atau lebih berat? Perjalanan cintanya terjal berbatu, atau penantiannya terbalaskan?

Lalu, adakah emosi tercampur aduk yang disimpan, tetapi tak mampu diungkapkan?

Tok! Tok!

"Nia, kamu udah pulang?"

Kalau suara Shane Filan mengendurkan syaraf tegangku, maka panggilan Kak Shane menyuruhku segera membuka pintu.

"Ya. Ada apa, Kak?" Sapaku parau.

"Kamu mau Kakak masak... hei, kok nangis?" Kak Shane menggumam heran, tidak melanjutkan kalimat sebelumnya.

"Kamu kenapa, Dek?" Kak Juna berganti bertanya, menyentuh pundakku khawatir.

"Nggak apa-apa."

"Kamu udah makan siang?"

Aku tersenyum menjawab pertanyaan Kak Juna, dibalas oleh hela napas leganya. "Kamu kenapa sedih? Ada yang ganggu pikiran kamu? Bilang sama Kakak."

Sepertinya Kak Shane mengerti bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk menguji kesabarannya. Ia lalu mengusap halus pipi kiriku seraya berkata...

"Istirahat gih, kamu pasti capek banget kuliah 9 sks hari ini."

"Kak!"

"Not now, Jun." Potong Kak Shane. "Adek mau Kakak bikinin teh anget?"

"Nggak usah, Kak, makasih."

Kututup pintu kamar, tidak kuhiraukan mereka yang berdiri mematung.

Kali ini, aku benar-benar ingin sendiri.

***

Belaian halus dari tangan seseorang pada wajah kurasakan saat kukerjapkan mataku ringan. Pukul berapa ini? Nikmat sekali aku bermimpi.

"Nia, bangun dulu, yuk."

"Eungg... 5 menit lagi, Bun."

PRAMADANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang