Jakarta, 1991
Empat tahun menjalin kisah kasih asmara, Julia menunjukkan rambu-rambu tawar nan menjauh. Tak lagi menemani Andrew misa pagi di gereja paroki kediamannya, enggan meminta ditunggu kelar pujabakti di vihara.
Minggu siang terasa aneh bagi Andrew yang hanya berdiam diri membaca buku, berbeda dari Julia, rela menerima telepon Prama setiap malam.
Sejak Prama resmi diangkat menjadi PNS Departemen Kehakiman, orang tua Julia menyambut suka cita. Ditambah mereka berdua satu keyakinan dan sealiran, semakin rusuhlah keinginan kedua keluarga agar mereka segera menikah.
Namun, Prama tidak mau terburu-buru. Siapapun pilihan Julia kelak, setidaknya Prama telah berusaha semaksimal mungkin, tanpa menangkap sinyal ada penampilan necis Andrew menyambangi rumah Julia pada hari Minggu malam.
Siap mengajak Julia mampir ke diskotek paling terkenal.
"Maaf, Andrew, kapan kamu akan menikahi Julia?"
"Kalau nggak ada aral melintang, kurang lebih tahun depan, Om."
"Saya tidak mengizinkan Julia mengikuti pedoman hidupmu meski gerejamu mengizinkan pernikahan beda keyakinan."
"Saya juga tidak memaksakan Julia, Om. Orang tua saya pun setuju kami hanya pemberkatan biasa, bukan sakramen."
Papa Julia menghisap cerutu dalam-dalam, menghembuskannya kasar. "Yakin kamu nggak nyesel?"
"Nggak, Om."
"Kenapa kamu memilih Julia? Padahal Emma seiman denganmu."
"Karena saya mencintai Julia, Om, perasaan saya kepada Emma tidak lebih dari sekedar teman kampus."
Di mana merupakan jebakan bagi Andrew, karena Emma mendengarnya di belakang sofa, hendak pamit kembali ke rumah.
Ya, Emma datang membantu Julia memasak bolu kukus. Julia menahannya terlalu lama saking asyiknya mengobrol, sehingga sakit hati Emma rasakan tatkala sosok Andrew berkata mantap barusan.
"Malam, Om, saya izin pulang. Supir saya sudah menunggu di luar. Dru, duluan."
Sontak Andrew bangkit berdiri. "E-Emma?"
"Hati-hati, Emma." Papa Julia kembali santai menghirup asap tembakau mahal, menoleh menyeringai ke arah wajah pucat Andrew. "Sana susul. Kasihan Emma."
"Om sengaja bilang begitu? Om tahu ada Emma di belakang saya?" Tanya Andrew tercengang.
"Justru saya ingin meluruskan otakmu, Andrew. Saya paham perasaan Emma bagaimana, ibu Emma adalah rekan kerja saya, beliau pernah berharap anaknya dan kamu bisa disatukan Tuhan dalam ikatan janji suci. Sama seperti halnya saya mau Prama dan Julia bisa bersama. Emma secinta itu padamu, tapi mata hatimu dibutakan oleh keinginan semu berwujud Julia, yang jelas-jelas lebih pantas bersanding dengan Prama."
Pertama kali Papa Julia berucap sepanjang ini. Sudut bibir Andrew bergetar kecewa.
"Prama sudah mengkhianati saya."
"Kamu juga menyakiti Emma."
"Om, gimana bisa hati seseorang dipaksakan?"
"Bisa. Kalau logikamu jalan." Pungkas Papa Julia meninggalkan Andrew melangkah gontai menuju teras.
"Andrew!" Seru Julia ketika Andrew hendak menutup pagar. "Andrew, tunggu!"
"Jangan bilang pilihanmu juga sudah berubah?" Andrew menoleh pilu, menatap raut sedih Julia memegang tuas kunci pagar.
"Dru, maaf, aku denger pembicaraanmu sama papa. But, please.. Prama dan aku temenan biasa, aku sendiri nggak tahu kenapa papa lebih suka aku pergi sama Prama dibanding kamu. Papa bener, seharusnya kamu kejar Emma. Kita selesein salah paham ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMADANA ✔️
FanficKania Srikandi tidak pernah menginginkan terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya di sebuah keluarga, bahkan dikelilingi tiga kakak lelaki kandung yang menganggapnya mutiara tak ternilai bukanlah suatu hal yang patut dibahagiakan, bila mengingat...