*Juna's POV*
"Adek duduk aja, biar ini Kakak yang pegang. Kasihan, nanti tanganmu capek."
Nia memunggungiku, melirikku tajam, meletakkan sendok sayur ke dalam panci agar kuaduk kuah soto itu hingga mendidih. Bukannya menurutiku, ia berganti membelah telur rebus menjadi dua.
Kuhela napasku berat, kucoba terima buah karmaku setelah 18 tahun tidak menghiraukan keberadaannya di rumah ini. Keping demi keping ingatan mampir membisik, mengenang segala celotehannya yang jarang kutanggapi.
"Kak, Nia ada latihan dance di sekolah. Kakak nonton, yaa.. please.. Kakak harus fotoin Nia pokoknya!"
"Nia pengen kuliah tari, Kak, tapi bunda malah nyuruh belajar bisnis manajemen juga. Sama, nggak sih, kayak kuliahnya Kak Dewa?"
"Kak Junaaa! Dipanggil ayaaahh! Kak? Ih, jawab dong. Ayah nyariin Kakak tuh!"
"Kakak bisa jemput, Nia, nggak? Bus belom ada yang lewat, udah sejam... Nia takut, Kak."
"Kakak Junaaa... main, yuk! Nih, Nia punya krayon banyak banget!"
"Kakak nggak suka Nia, ya? Kok Ara diambilin wafer sama Kakak, tapi Nia nggak?"
"Ehehe.. ta.. ta... Ta Una!"
Maafin Kakak, Dek, bahkan Kakak baru tahu kamu pernah belajar sebut nama Kakak di usiamu ke-20 minggu. Kakak nggak sanggup berjauhan sama kamu hampir sebulan. Kakak harus bisa bikin kamu mau berkomunikasi lagi sama Kakak, bagaimana pun caranya.
Lauk pauk telah Nia tata rapi di atas meja, termasuk peralatan makan bersih nan cemerlang. Baiklah, Juna, just say what you need to say.
"Kania."
Adikku bergeming. Ia memilih menutup toples bawang goreng dan melanjutkan mengiris tomat.
"Kamu nggak menderita terus-terusan diem begini? Pasti banyak yang mau kamu ceritain, 'kan? Dimas sama Olive belajar di kamar, mereka sengaja kasih waktu buat kita. Bohong banget kalau mereka nggak sakit hati juga karena Kakak, Ni, gimana bisa Amara punya dua adik kandung tapi lebih concern perhatiin Kakak balik? Nyatanya, lama-lama mereka bisa terima karena hidup ini nggak selamanya ada buat mereka jalani."
"Kakak nggak pengen kamu cepet terima Kakak, karena Kakak paham sakitnya kamu selama Kakak cuma mau punya adik semanis Amara. Tapi, Nia, Kakak juga nggak bisa pastiin selalu ada di samping kamu. Suatu hari nanti, kamu akan menikah, jadi tanggung jawab orang lain, dan saat itulah Kakak akan lepasin kamu."
"Kania Srikandi, Kak Arjuna Langit bener-bener minta maaf sama kamu."
Kurengkuh tubuh lemahnya dari belakang, kuteteskan air mata yang sulit kutahan sejak membantunya memasak atas pinta Olivia.
"Maaf, Kakak akui Kakak dulu pernah malu punya adik yang nggak terlahir lengkap. Maaf, karena kini Kakak bangga banget punya adik berhati sempurna... seperti kamu."
"Kakak sayang banget sama kamu, Dek, Kakak masih pengen terlahir kembali di alam manusia sebagai orang yang paling deket sama kamu."
"Nia, maafin Kakak sekali lagi, ya. Semoga kamu mau kasih kesempatan supaya Kakak bisa belajar maksimal jadi saudara yang lebih baik buat kamu."
Tepat kudengar beberapa mesin motor dimatikan dan dimasukkan ke garasi, Nia melempar pisaunya ke atas meja sambil memelukku erat, membasahi kaus jersey Real Madrid-ku dengan air mata berharganya.
Kelima pasang saksi mata di hadapan kami terdiam, termasuk seseorang yang cukup lama kukenal tampak memberi ruang privasi, berhubung ia langsung memasuki kamar Shane.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMADANA ✔️
FanficKania Srikandi tidak pernah menginginkan terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya di sebuah keluarga, bahkan dikelilingi tiga kakak lelaki kandung yang menganggapnya mutiara tak ternilai bukanlah suatu hal yang patut dibahagiakan, bila mengingat...