4 - Setangkai Tulip Putih

558 57 20
                                    

Tugas kelompok antara aku, Gio, dan Irfan terlaksana di Katakanlah Coffee, setelah segala rayuan terlontar dari mulut Kak Dewa supaya aku mau mengenalkan dua sahabatku kepadanya.

Presentasi 12 slide itu dimatangkan oleh Irfan yang pandai mengolah kata dan mendesain. Sesekali kusesap mixed juice yang terdiri dari wortel, tomat, mentimun, dan madu itu sambil membantunya bekerja.

"Kelompok kita kapan maju?" Tanya Irfan.

"Urutan kedua, minggu depan."

Irfan memelototiku. "Astaghfirullah, untung dikerjain sekarang! Gue kira masih 2 minggu lagi!"

"Sama, kenapa sejak semester 1 kita selalu dapet nomer urut 2 tiap presentasi?"

"Takdir kali," Gio menjawabku asal. "Lebih cepet selesai, lebih baik. Nggak usah protes, nggak guna."

Mulut Gio sulit diprediksi, kadang menyenangkan, menyebalkan, garing, atau perhatian. Tergantung mood-nya.

"BTW, ini kafe rame nggak ketulungan, gue sering lewat sini tiap ke rumah sepupu, kayaknya cuma sepi sebentar doang."

Gio memandang kesibukan Kak Dewa di balik mesin La Marzoco, sambil bergantian mengetik materi ketika aku mendikte. Terkenang sejam sebelumnya, Gio berpesan padaku usai memesan menu kepada Kak Dewa yang ramah sekali melayaninya.

"Lo beruntung punya kakak sebaik dia, Ni. Jangan kelamaan dendam, nggak baik."

Di tengah keseruan Gio dan Irfan mengobrol, kurenungkan ucapan Gio.

Lu nggak tahu aja, Yo, rasanya pengen meluk kakak sendiri pas sakit demam, tapi dia malah menghindari gue demi Amara yang ngajak main Barbie.

"2 kakak lo nggak ada di sini, Ni?"

"Nggak, Fan, mereka ngantor."

"Jabatan mereka pasti keren," takjub Irfan. "Tapi, kesuksesan mereka belom tentu obat buat lo, 'kan, Ni?"

"Gue masih canggung," kuaduk minumanku searah jarum jam. "Salju mustahil turun di Jakarta, tiba-tiba mereka ngomong baik-baik ke gue. Do everything to me like nothing happened. Gimana coba rasanya?"

"Bisa jadi mereka lagi tunggu waktu yang tepat," ucap Gio. "Ego cowok setinggi langit ketujuh, kaum kita butuh kesiapan besar untuk minta maaf dan dimaafkan secara gentle. Nggak gampang, Nia, gue bisa lihat usaha keras Kak Dewa supaya lo mau terima mereka yang udah nggak peduli sama lo dari kecil."

"Kayak mereka mikir perasaan gue aja."

"Gue setuju sama Gio. Kalau mereka nggak sayang lo, mereka nggak akan mau nurutin ayah sama bunda lo. Cuma nggak usah buru-buru kalo lo belom nyaman, semua bakal indah pada waktunya kok."

Kebijaksanaan Irfan menguar di luar dugaanku, walau aku tidak berani menanam harapan sebesar biji jagung.

"Gimana tugasnya, udah sampe mana?"

"Bentar lagi selesai, Bang, kopinya enak!" Puji Gio sesampai Kak Dewa menyapa kami.

"Brownies-nya gokil sih, pas buat gue yang nggak terlalu suka manis, Bang." Irfan tak mau ketinggalan, menimbulkan ekspresi puas bagi sang pemilik tempat.

"Thank you, guys. Adek mau tambah, nggak? Makan atau minum, gitu?"

Kugelengkan kepalaku.

"Heh, kalo kakak lu tanya tuh dijawab!" Tegur Gio.

"Nggak apa-apa. Kakak tinggal dulu ke depan, ya. Jangan lupa bilang kalo mau pulang, nanti Kakak anter."

Kak Dewa membenahi poni rambutku yang berantakan sebelum kembali menangani antrian tiga baris pembeli, menghembuskan napasku tenang.

PRAMADANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang