23 - Rentang Kata

242 41 7
                                    

Pagar rumah kubuka lebar supaya Kak Juna bisa memasukkan mobil ke dalam garasi, tetapi 4 pasang mata langsung menajam menyambutku sebelum sepatuku menapaki lantai teras.

Gestur tangan Kak Dewa memintaku melepas ransel, kuturuti, kuserahkan padanya.

"Hobi baru kamu, Nia? Pulang jam 12 malem, HP mati, susah bangun pagi, muka kusut, pengen jadi Cinderella?"

Suara ayah berhasil menciutkan nyaliku. "Nia bisa jelasin."

"Jelasin kalau kamu ikut proker tanpa izin Ayah, bunda, sama kakak-kakakmu?" Beliau bersedekap menantang, buru-buru Kak Shane tahan.

"Ngomong di dalem aja, Yah, nggak enak didenger tetangga."

"Terus, kalau anak perempuan paling kecil suka pulang telat termasuk enak dilihat tetangga? Padahal ada 4 laki-laki di sini, punya pacar belom diputusin pula, fungsi kita apa? Hiasan taneman rambat bunda kalian?"

"Maafin Nia, Yah."

"Nggak capek kamu pake brace 15 jam, yang seharusnya cuma 12 jam? Punggungmu emang nggak teriak-teriak pengen minta istirahat?"

"Ayah," potongku. "Nia capek banget. Bisa, nggak, kita obrolin baik-baik sambil duduk biar kalian ngertiin Nia sebentar?"

"Sekarang kamu mau pengertian, kemaren-kemaren mogok ngomong. Mau kamu apa?"

Mode marah ayah tak dapat kuelak, begitu pun ketiga kakakku. Bunda hanya menatapku prihatin, merangkul bahu lemahku rapat.

"Masuk semuanya. Juna, kunci pintu pager sama depan. Dewa, bantu bunda bikinin teh hijau panas buat kita berlima. Shane, suruh adek bengalmu ganti baju sama skin care-an dulu."

Tiga prajurit itu menjalankan perintah ayah tanpa menggerakkan mulut, ketika aku mengangguk pelan menjawab pertanyaan bunda perihal sudah makan atau belum. Bahkan wajahnya cerah menemukan sekantung kertas cokelat besar berisi aneka gorengan yang kubawa, lumayan untuk teman minum teh pereda ketegangan, katanya.

15 menit Kak Shane berdiri menungguku menggosok gigi, mencuci muka, memercikkan toner, dan mengoleskan pelembab malam dari area jidat hingga leher. Selama itu juga, ia seolah ingin bicara.

"Kamu mau tambah sibuk kayak apalagi biar bisa lupain masalah pribadi?"

Kapan tembakan pertanyaan ketiga kakakku salah sih?

"Semester 6 pengen kerja part time." Ungkapku lugas.

"Nggak waras kamu!" Decaknya. "Part timer pake tenaga fisik 2x lipat maksudmu? Nggak mikir kesehatan diri sendiri?"

Brak!

Kubanting botol hydrating toner-ku kesal.

"Kenapa kalian baru perhatian sekarang? Kenapa setelah aku tahu Kakak bertiga punya rencana di balik kesepiannya aku bertahun-tahun, malah jadi sok protektif nggak jelas begini?"

"Harusnya Kakak tanya balik sama kamu, Nia! Kamu bisa baik sama Juna tapi kenapa kamu nggak mau dengerin Kakak sama Dewa??"

"KARENA KAK SHANE ANAK PERTAMA DI KELUARGA INI YANG NGGAK BISA KASIH CONTOH BAIK BUAT KITA!"

Sentak kerasku membekukan tubuhnya.

"A-apa?"

"Di otak Kakak cuma ada cara gimana supaya jadi pinter, masuk kedokteran demi aku, tapi Kakak secuil aja nggak pernah tahu apa yang aku, Kak Juna, sama Kak Dewa rasain. Kakak yang egois! Kakak cuma bisa salahin aku, padahal Kakak juga nggak ngomong sama ayah dan bunda tentang Keluarga Amunggraha!"

"Kania!"

"NGGAK USAH SOK BERKHARISMA KALO CUPU BANGET JADI ORANG! BISA-BISANYA KAKAK NOLAK PERASAAN PEREMPUAN SEBAIK KAK SILVIA? TOLOL!"

PRAMADANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang