43 - Inner Child Wound III

117 15 0
                                    

"Dasar pebinor." Simpul Dewa muak.

Sambil mengutak-atik selang infus mumpung cairannya hampir habis, Dewa menggelengkan kepala lemah mendengar awal mula romansa orang tuanya.

"Ayah sadar, nggak, sebenernya bukan Shane yang mulai? Tapi Ayah sama bunda. Begonya, sifat Ayah menurun ke Shane, diterusin ke anak pertama Om Andrew." Si kakak pertama sebenarnya berniat menjenguk Dewa, terpaksa menghela napas tak habis pikir karena ikut menyimak.

"Ayah tahu gimana perasaan Juna lihat Nia sama Dewa luka-luka gini? Sisil nangis mohon-mohon supaya dia sekeluarga nggak dipenjara karena pemahaman keliru?" Sepasang tangan Juna mengepal menyatu gemas, bibirnya mengujar menyesal.

Kepala keluarga andalan menepuk-nepuk ringan bahu Dewa, sadar anak ketiganya akan segera menangis.

"Maaf, maksud Ayah sama bunda baru ngomong sekarang pun, kita berdua rasa kalian sudah cukup besar untuk mengerti."

"TELAT, YAH!" Teriak Shane, Juna, dan Dewa jengah.

"Sakit hati, Shane, Yah.. Shane berasa gagal jadi kakak.. berasa jadi laki-laki nggak berintegritas." Tambah Shane.

"Kak, jangan bilang gitu." Cegat Juna parau. Sama sedihnya.

"Kita berempat lahir bukan kemauan kita, Shane kenal Sisil dan Nia kenal Gio juga bukan keinginan kita. Ayah sama bunda yang mutusin nikah, Ayah sama bunda juga punya konsekuensi atas niat kalian yang nggak sengaja sakitin hati Om Andrew dan Tante Emma. Sekarang pas Shane denger cerita Ayah, Shane baru sadar ini nggak adil sama sekali. Oke... Tante Emma nggak suka bunda, Om Andrew belom rela Ayah ambil bunda, mereka memang salah. Berani menyalahgunakan perasaan Sisil dan Gio untuk menuntaskan dendam pribadi mereka. Tapi Shane salut, Shane menghargai kejujuran mereka, sampe kita semua mau maafin mereka dan nggak bawa masalah ini ke jalur hukum."

"Cuma 1 hal yang Shane nggak ngerti. Kenapa Ayah sama bunda nggak mau ngaku salah? Kenapa kalian baru jujur ketika Nia, Shane, Dewa, dan Juna jadi korban? Bahkan sepupu kembar kita ikut terlibat!"

"Shane kecewa sama Ayah."

Brak!

Pintu kamar Shane tutup keras, ditinggalkannya tergesa menuju taman tengah rumah sakit. Sungguh, hanya udara segar satu-satunya penahan puncak emosi sang penggemar kopi Gayo.

"Kalian tenang, biar Juna susul Kakak."

Cowok berkemeja espresso dipadu celana denim hitam panjang itu setengah berlari memanggil-manggil Shane. Namun, telinga si target sengaja ditulikan seolah menerima ajakan si adik bernegosiasi di atas bangku beton panjang yang tersedia.

"Kak, kontrol diri lo. Kasihan ayah, bunda, Dewa, sama Nia, mereka masih butuh kita. Kasihan pikiran lo juga."

"Kalian nggak tahu perasaan gue." Shane mendesis lemah. "Hancur, Jun.. hancur.. darah gue rasanya berhenti ngalir. Kenapa mesti keluarga kita? Kenapa Keluarga Pramadana harus ngalamin ini?"

Juna duduk menyimak, tidak mau memotong pembicaraan Shane.

Biarlah Shane melepas lelahnya 30 tahun membantu menopang pondasi hidup mereka.

"Gue kurang apa sih jadi anak? Apa gue belom becus jadi kakak kalian? Ayah bunda rahasiain aib sebesar itu, padahal gue pernah dipukul habis-habisan bikin Nia nangis. Gue mulai suka Sisil, ternyata bunda sama Om Andrew pernah pacaran. Mungkin kalo Om Andrew dan bunda nikah, gue dan Sisil nggak akan pernah ketemu."

"Takdir selucu ini, Jun, kocaknya lagi kita belom boleh ketemu Nia. Demi apapun, gue kangen adek perempuan gue.. gue kangen berlian keluarga kita, Jun."

PRAMADANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang