Bangun terduduk tengah malam, basah berkeringat dingin, hembus napas tidak teratur, tentu jauh dari tujuanku beristirahat. Apalagi mengingat mimpi burukku barusan, buru-buru kusebut nama Guru Agung sembari memejamkan mata dan menetralkan perasaan.
"Namo tassa bhagavato arahato samma sambuddhassa. Namo tassa bhagavato arahato samma sambuddhassa. Namo tassa bhagavato arahato samma sambuddhassa. Itu tadi apaan? Serem.."
"Minum dulu deh." Monologku seraya keluar kamar. Bersyukur minggu UAS telah berakhir, tinggal menunggu kumpulan nilai kumulatif dua minggu lagi.
Ya, selamat datang libur semester kenaikan tingkat.
Kunyalakan lampu dapur, kutenggak habis sebotol air dingin dari dalam kulkas, sejenak merenung di kursi makan.
Dibanding dua kakak lain, aku memang belum mengibarkan bendera perdamaian kepada Kak Dewa. Interaksi kami tergolong standar, biasa, layaknya pasca pemakaman Amara. Aku diantar jemput Kak Juna ke kampus, Kak Shane ke rumah sakit, tetapi sekali pun tiada kalimat melebihi tegur sapa antara aku dan Kak Dewa.
Kuperhatikan Kak Dewa kini fokus menjalankan bisnis, sesekali bermain game sendiri, membaca buku di pojok ruang keluarga, ikut mencicipi masakan bunda tanpa berniat membantu karena Kak Juna melarang mentah-mentah.
Heran... bikin roti sesuai instruksi di rumah keras, kok menu di kafenya enak semua?
Kak Dewa pun jarang jalan-jalan bareng teman atau sahabat. Punya pacar? Musnahkan saja harapan itu jika tidak mau memilki pengalaman berpasangan dengan patung bernapas.
Diam-diam begini, aku paham Kak Dewa lebih suka urus kafe dan kandang Cathy, kucing betina kami berwarna bulu putih abu-abu yang ekornya bila berdiri persis menyerupai sikat botol saking lebatnya.
"Meong.." kebetulan, kepala Cathy menggesek lembut pergelangan kaki kananku, segera kuangkat si embul ke atas meja.
"Kok di sini? Nggak bobok?" Kupijat pelan kepala Cathy, tak lupa kuelus perutnya. "Mau makan, nggak?"
Benar. Begitu aku berdiri menuju mangkuk stainless steel kosong di lantai, Cathy melompat menghampiriku, mengeong-ngeong keras meminta cemilan. Untung stok dry food masih ada.
Kutuang isi bungkus tersebut setengah mangkuk, berjongkok mengamati peliharaan kesayangan kami sekeluarga.
"Kamu jam segini kenapa laper? Apa cuma pengen manja doang?"
Cathy semangat mengunyah, bunyi 'kraus kraus'-nya menaikkan mood-ku.
"Enak, ya? Mau lagi?" Tawarku. Cathy mendongak, menatap antusias caraku kembali memberi dry food rasa tuna favoritnya.
Kulipat tanganku di atas lutut, tersenyum menonton Cathy memakan snack pukul 03.45 WIB. Kubelai punggung sehalus kemoceng mahal itu.
"Cathy, kamu tahu tutorial disayang Kak Dewa 7 hari 24 jam, nggak? Kamu digedein dia 4 tahun, tapi aku baru diajak ngobrol sebagai adiknya setahun."
"Andai boleh tuker kehidupan, aku pengen jadi kamu. Nggak pernah dimarahi Kak Dewa, padahal kenakalanmu kadang bikin Kak Juna pengen jual murah kamu di petshop Barito. Nggak di-KDRT-in Kak Dewa, walau sprei, keset, karpet, bunganya Bunda, mangkok makan kamu sendiri, sering kamu acak-acak."
"Cathy, asal kamu tahu... babumu paling sayang sama Amara, sepupu kita..."
"...Kak Dewa hampir nggak mau lihat aku..."
"Waktu aku sama Amara belajar naik sepeda, kita jatoh berdua. Amara lecet sedikit, sementara lutut, betis, siku, lenganku berdarah-darah. Tapi.. kamu tahu apa yang terjadi, Cathy?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMADANA ✔️
FanfictionKania Srikandi tidak pernah menginginkan terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya di sebuah keluarga, bahkan dikelilingi tiga kakak lelaki kandung yang menganggapnya mutiara tak ternilai bukanlah suatu hal yang patut dibahagiakan, bila mengingat...