"Kalo sakit bilang, ya, Ni."
"Iya, Tante. Lukaku udah mulai kering kok. Nggak terlalu sakit."
Luka luar. Bukan luka dalam. Batinku miris.
Perasan handuk hangat tengah Tante Mirna basuhkan lembut ke sekujur wajahku, beliau menuruti pinta Dokter Varen agar aku tidak mandi dulu dua hari. Sedangkan ayah dan bunda santai menonton TV, Om Hendra membaca koran, Tante Metta ketawa-ketiwi bermain HP.
Asyik. Tanda-tanda bakal punya om baru nih.
"Diem aja, Nia, tumben." Tante cantik itu menegurku. "Mau jalan-jalan?"
"Memang boleh, Tante?"
"Siapa berani ngelarang, Tante tebas lehernya."
Benar kata Dimas. Tante Mirna nggak kalah serem dari ayah.
"Nia pengen ke kafetaria deh, Tan."
"Kangen minum kopi?"
"Hehe.. iya. Nia nggak ada pantangan makan minum, kan?"
"Nope, sayang. Ya udah, kita jalan kaki pelan-pelan. Nggak usah pake kursi roda."
Tunggu. Tante Mirna mau menemaniku?
"Eh, maksud Nia, Nia sendiri aja ke sana beli take away, terus balik kamar lagi. Nggak akan lama."
Tante tertuaku membelai poni rambutku, menggenggam pergelangan tanganku hangat sembari mengucap lirih.
"Jangan simpen semua sendiri, Nia. Kamu janji sama kakak-kakakmu, ayah, bunda, om, tante, sepupu-sepupumu juga, jangan tahan rasa sakitmu tanpa kita mengerti. Tante tahu, ada banyak pertanyaan di kepalamu sekarang. Tante paham, kamu butuh jawaban pasti atas segala hal yang sudah terjadi sebagaimana keikhlasan Tante menerima Anaya waktu jenguk kamu pagi ini."
"Let me say thanks to you properly."
Duhai air mataku, semoga kau tidak lolos di luar kontrolku. Kecuali saat aku dan Tante Mirna benar-benar tinggal bicara berdua.
"Oke. Ayo, Tante."
Syukurlah mereka semua mengizinkanku dan Tante Mirna mampir menyegarkan diri. Om Hendra dan Tante Metta pun menitip dibelikan kopi kesukaan masing-masing.
Hingga segelas ice almond latte dan hot earl grey tea tersaji menawan di atas meja bundar, kami berhadapan menutup kata, mencoba mencari arti mengapa jantungku berdegup tak beraturan.
Benakku memainkan memori 10 jam lampau kala Tante Mirna dan Tante Metta khawatir setengah mati menemuiku terbaring lemah, ditemani Dimas, Olive, dan Irfan. Baru berbincang sebentar, Anaya keluar kamar mandi, berkaca-kaca mendapati Tante Mirna menyuapiku makan siang.
Kejujuran Dimas menuai hasil haru. Kedua tanteku memeluk Anaya, meluncurkan tangis Anaya yang pertama kali aku dan dua sepupuku lihat.
Sisi keras calon dokter itu runtuh. Sama dengan caraku menghancurkan tembok ego yang kokoh berdiri 18 tahun akibat kasih sayang tulus Kak Shane, Kak Juna, dan Kak Dewa.
Ya, Tuhan.. mereka apa kabar?
Kenapa sampai detik ini kita berempat tidak dibiarkan bertemu?
"Apa Nia... masih marah sama Tante? Atau Ara?"
Leherku menengok mendadak, terkejut atas pertanyaan Tante Mirna.
"Hah? Nia nggak mungkin marah sama Tante, apalagi Mbak Ara."
"Nia masih sudi datang menginap di rumah Tante? Temenin Olive atau Aya tidur?"
Tante Mirna ngomong apa sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMADANA ✔️
Fiksi PenggemarKania Srikandi tidak pernah menginginkan terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya di sebuah keluarga, bahkan dikelilingi tiga kakak lelaki kandung yang menganggapnya mutiara tak ternilai bukanlah suatu hal yang patut dibahagiakan, bila mengingat...