7. Mengikuti Alur

16 9 16
                                    

Hari ini seperti biasanya Renjio sudah stay di meja dengan semua alat-alat tulisnya, tangannya memegang tekuk kepala dengan sedikit di remas. Sesekali ia menutup matanya untuk menghilangkan rasa kantuk yang ia pendam dari pagi ini.

Matahari mulai menyinari ruang kelas dengan silau yang menyerap jendela, kelas mulai ramai dengan mereka yang memantulkan sebuah perkataan random, candaan sederhana yang menciptakan senyuman manis di bibir mereka. Namun senyuman itu bagaikan lalat yang hanya lewat bagi Renjio, tak ada sedikitpun niat untuknya berbahagia lagi dengan orang baru. Hatinya tidak ingin melupakan suatu nama yang terbelit di hatinya.

Tak pernah terpikirkan oleh Renjio untuk kembali menyatukan sebuah rantai persahabatan di hidupnya, ia sudah cukup trauma memiliki sahabat yang selalu ada di sisinya, namun ketika waktunya tiba ia pergi.

"DAARRR!" Renjio tersentak, ia kaget karena tiba-tiba Abigail datang mengangetkan nya. Di belakang Renjio melihat sosok laki-laki yang terlihat ramah.

Abigail hanya terbahak-bahak bahagia melihat wajah Renjio, menurutnya wajah Renjio saat kaget lucu. Abigail menepuk pundak Renjio.

"Ini kenalin, temen gue. Namanya Seno, dia dari kelas IPA 4."

Seno mengulurkan tangannya ke arah Renjio dengan sedikit tersenyum. "Seno."

Namun dengan tega, Renjio tidak membalas ulurannya. Renjio kembali lagi dengan kegiatannya dengan menatap buku yang ia pegang saat ini, Seno hanya diam menatap tangannya yang mulai kaku melayang di udara.

Abigail menatap keduanya, ada rasa menyesal dibenak Abigail. Lalu ia pun kembali tertawa untuk mencairkan suasana.

Abigail mengajak Seno untuk keluar kelas setelah ia menyimpan tasnya di atas kursi, bel masuk pun masih lama berbunyi.

"Dia siapa sih?! Belagu banget," gerutu Seno.

"Dia Renjio, tapi dia baik kok kalau gak ada orang yang ganggu dia lebih dulu. Tapi kekurangan dia itu, rajinnya kebangetan!"

"Lo mending pindah aja deh, jangan duduk di sebelahnya. Gue tahu lo itu punya darah tinggi, mending pindah dari sekarang sebelum kambuh."

"Heh! Diem adalah hobi dia, jadi gue sama dia gak bakalan adu mulut."

"Adu mulut?"

Abigail melotot ke arah Seno, lalu ia memukul keras-keras tangan Seno. Seno hanya meringis kesakitan, sesekali ia melangkah mundur untuk menghindari pukulan Abigail.

Entah kenapa Seno merasa nyaman terus berada di sisi Abigail, bukan ia menyukai Abigail. Hanya saja Abigail berbeda, Abigail adalah orang yang tidak memilih sebuah perbedaan, siapapun akan ia rangkul.

Seno senang Abigail bisa menerima dirinya, Seno adalah anak yang nakal. Sering kali orang tuanya mengusir Seno dari rumah, tiap hari kerjaannya hanya balap motor, kalau tidak nge rokok di tongkrongan. Namun Seno juga memiliki sebuah cita-cita, anak nakal juga sama-sama anak yang harus memiliki sebuah pemikiran untuk masa depan. Cita-cita Seno ia ingin menjadi seorang Hacker.

Tiba-tiba Seno diam mematung memandangi seseorang di seberangnya. Abigail yang sadar pun beralih melihat arah tatapan Seno.

Abigail mengerutkan keningnya, matanya menatap tajam penuh kecurigaan.

"Lo mau ke sana?" tanya Seno.

Abigail masih menatap Diana dengan anak-anak buahnya sedang membawa Dera ke kamar mandi, Abigail memiliki insting bahwa Dera akan menjadi sasaran empuk Diana lagi sebelum masuk kelas.

Abigail melipat kedua tangannya, tak ada sedikitpun niat Abigail untuk menghampiri mereka.

"Balik ke kelas lo aja, yuk. Udah anggap aja kita gak liat," ucap Seno.

Story Renjio [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang