Hidup dibawah sebuah tuntutan.
***"Devin! Ayah dengar kamu sekelas sama Allen, benar?"
Devin mengangguk, hari ini ayahnya mengambil cuti untuk tiga hari ke depan karena kondisi tubuhnya yang sedang lemah.
Devin sedang duduk dengan santai di sofa di temani oleh cemilan-cemilan ringan di atas meja, sedangkan ayahnya sedang duduk dengan semua berkas-berkas yang menumpuk di meja.
"Gak usah dipaksain untuk juara satu, masuk tiga besar saja Ayah sudah bersyukur."
Devin menatap wajah sang Ayah yang menatap ke arahnya dengan penuh kasih sayang. Ayahnya memang tidak menuntut Devin untuk menjadi juara pertama, Namun karena kemauan Devin sendiri yang ingin agar ia manjadi siswa terbaik di sekolahnya, ditambah Devin juga tidak suka jika tempat itu di duduki oleh Allen.
Devin menggelengkan kepalanya tidak setuju, "kalau Devin mampu untuk berjuang kenapa ngak? Lagian kalau tahun ini Devin dapat peringkat satu, Devin dapat kuliah ke luar negeri. University impian Devin sedang menunggu di sana."
"Ayah hanya sekedar bilang, jangan terlalu memaksakan. Ayah tahu, anak Ayah yang satu ini pasti bisa!"
Beruntung sekali, Devin memiliki seorang Ayah yang sangat peduli dengan kesehatannya. Ayahnya tidak ingin Devin memaksakan diri untuk belajar dan malah menghiraukan kesehatannya.
Ayahnya benar-benar mengerti tentang hidup sebagai seorang remaja yang sedang delima terhadap masa depan, karena dirinya dulu sangat susah mencari pekerjaan karena rendahnya pengalaman belajar dan juga kerja.
Namun lain halnya dengan Allen, ia adalah anak ke empat dari empat bersaudara. Para kakaknya sudah sukses ke dunia bisnis di luar negeri, hanya tinggal dia seorang yang masih duduk di bangku sekolah.
Kedua orangtuanya menuntut Allen agar ia bisa mengikuti jejak para kakak-kakaknya, semua pelajaran harus Allen kuasai agar bisa memiliki nilai yang sempurna.
Pagi sampai malam, Allen hanya belajar. Hidupnya di penuhi oleh tulisan yang tertera pada buku-buku yang sering menumpuk di mejanya. Hidupnya benar-benar sulit namun tetap ia jalani. Karena ia juga tidak mau kalah dengan kakak-kakaknya yang sudah jauh ada di atasnya.
Bahkan Allen mau ia lebih sukses dari ke tiga kakaknya, Allen mau ia sebagai anak bungsu bisa membuktikan kepada kedua orangnya bahwa ia juga bisa dan lebih hebat.
Allen melamun kosong menatap layar laptopnya yang sudah mati, tangannya sudah lemas, matanya pun terlihat merah.
Jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, namun Allen memiliki waktu tiga jam lagi untuknya tidur. Allen tidak akan tidur sampai jam menunjukan pukul satu malam, ia akan terus belajar sampai jam tersebut.
Namun mungkin, hari ini ia sudah sangat kelelahan dengan cara hidupnya. Matanya penuh kekosongan.
Allen mau, ia bisa mendapatkan nilai tanpa kerja keras. Karena kerja keras yang ia lakukan sangat melelahkan fisiknya, bukan hanya fisik namun juga otak.
Allen mengerjap setelah Ibunya dengan tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya, kemudian raut wajah Ibunya terlihat marah.
"Kenapa malah diam kamu, Allen? Bukannya belajar!"
Allen menggisik matanya yang merah karena ngantuk dan juga kecapean, dia melihat sekilas wajah Ibunya yang sedang melotot ke arahnya. Allen berusaha mengubah posisi duduknya.
"Pergunakan waktu dengan baik, Allen. Jangan-jangan dari tadi kamu ngak belajar yah? Kami mau jadi orang yang bodoh?!"
Allen menggeleng dengan pelan, namun wajahnya terlihat sudah lelah untuk belajar. Ia ingin tidur saat itu pula, namun ia tidak bisa melakukannya karena belum waktunya.
![](https://img.wattpad.com/cover/316314393-288-k767752.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Renjio [ END ]
Teen Fiction15 Juli 22 - 6 Mei 23 Renjio, hidupnya dikelilingi oleh rasa bersalah kepada sahabat kecilnya Keisya. Seakan-akan kini Keisya sedang menghukum Renjio, namun ternyata hukuman itu sangat menyakitkan bagi Renjio. Seusianya ini, Renjio masih tidak bisa...