24. Ayahnya Keisya

4 1 0
                                    

Renjio menatap sendu sehelai foto yang sudah kusam di dalam kamarnya sendirian, kemudian ia meneteskan air matanya yang berangsur-angsur membasahi pipinya.

Foto itu mulai basah akibat air mata yang terus-menerus mengalir dari mata Renjio, wajahnya sudah memerah karena beberapa hari terakhir setelah pembicaraannya dengan Abigail di atap sekolah, Renjio jatuh sakit. Pikirannya terus tertuju kepada Keisya yang telah meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Sekarang Renjio dilema, ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia sudah menangkap omongan dari Abigail, Abigail benar. Dengan dia bersikap kayak gini mungkin akan membuat Keisya bersedih di atas sana, tapi di sisi lain Renjio juga sulit jika harus berbahagia di dunia ini tanpa Keisya. Sungguh dunia Renjio sekarang tengah kehilangan garis orbitnya sendiri.

Renjio menutup matanya, meresapi rasa sakit yang mulai tidak bisa ia tahan. Kenapa harus Keisya yang pergi duluan meninggalkannya? Kenapa tidak dirinya saja? Apakah Keisya sesuka itu jika dirinya menaruh sepucuk bunga mawar putih di atas kuburannya?

"Sudah cukup Renjio, hari-hari mu di dunia masih panjang. Apakah setiap detik kamu di dunia ini akan terus menangis, menangisi orang yang sudah meninggalkan mu? Kadang-kadang kita juga sebagai manusia harus egois, jangan terlalu naif."

"Benar kata Abigail, yang salah disini bukanlah gue. Tapi kamu, Keisya. Kamu telah menghancurkan dunia ku, dunia ku telah lesu akibat kepergian mu."

"Hari ini, aku akan melupakan mu. Aku akan membuang semua ketergantungan ku padamu. Kenapa? Karena sekarang aku sudah sadar, bahwa kematian mu bukan sepenuhnya salah ku. Ini semua adalah takdir yang sudah dituliskan sejak awal."

"Aku yakin, suatu saat nanti. Aku bisa minta maaf kepadamu di dunia yang berbeda, di dunia di mana tidak ada hal lain yang bisa memisahkan kita!"

Finish, sampai di sini Renjio menyalahkan dirinya sendiri. Ia harus bisa merubah dunianya ke sisi yang lebih baik, di sisi dimana tidak ada nama Keisya di dalamnya. Hanya orang-orang yang kini tengah selalu bersamanya.

Ia akan mencari kebahagiaannya di dunia yang baru ini, apapun cobaannya. Ia yakin bahwa kebahagiaan itu akan datang sendiri kepadanya. Ia akan terus berlari menjauhi bayang-bayang masa lalu yang begitu gelap di belakang.

Dering telepon berbunyi, Renjio meraih handphonenya yang berada di atas kasur. Tertera nama Alvian di layar.

"Halo?" panggil Renjio dengan suaranya yang masih serak karena sudah menangis.

"Ternyata lo emang beneran sakit, suara lo menggelegar banget. Semoga lo cepat sembuh ya, sorry gue gak bisa jenguk."

"Iya santai, lagian gue udah mendingan kok."

"Bagus kalau gitu, oh iya. Gue nelpon karena mau ngasih tahu. Si Diana udah gila deh kayaknya, dia jarang masuk sekolah. Tapi orang tuanya bilang dia udah berangkat sekolah, tapi pas gue cari dia gak ada sekolah."

"Maksudnya dia bolos?"

"Kayaknya, jadi di sini kita gak boleh takut sama dia kalau dia macam-macam sama kita. Justru dia yang takut kalau nanti kita bakal macam-macam sama dia!"

"Jadi kita harus apa?"

"Lo harus jaga Abigail, Ren!"

"Hah? Kenapa harus Abigail? Kan dia gak ada hubungannya sama semua ini."

"Tapi kan dari awal rencana penyelidikan ini di awali oleh Abigail kan? Dan dia tahu semuanya. Diana itu cuman berani sama orang yang sama gender dengannya, kita itu gak akan bisa di lawan. Jadi gue mohon lo jaga Abigail, jangan sampai dia menjadi korban selanjutnya."

"Seharusnya kita harus buruan lapor polisi, gue gak mau Abigail terluka karena bajingan yang mengerikan itu."

"Gue lagi cara, masalahnya orang tuanya Diana itu gak tahu kalau anaknya itu adalah seorang pembunuh!"

Story Renjio [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang