Matahari tengah semangat memancarkan sinarnya di hari yang indah ini, langit begitu luas berwarna biru di atas sana. Hari yang panas namun menyejukkan.
"Gimana? Permainan petak umpetnya udah selesai? Kalau kayak gini siapa yang akan kalah?"
Dia menatap tajam ke arah Alvian dan Renjio dengan tatapan tidak suka, kini ia sudah berada di titik jurang yang dalam. Satu langkah saja ia mundur, ia akan jatuh. Dan semuanya akan hancur, hidupnya.
"Mau berapa banyak lagi orang yang bakal lo bunuh? Allen? Devin? Atau Axel juga bakal lo bunuh?"
Keringat dingin bercucuran di balik telinganya, namun senyuman menyeringai terukir di mulutnya. Ia mengaku ia kalah namun kekalahannya bukan lah sesuatu akhir dari hidupnya, karena akhir dari hidupnya adalah kehilangan, uang.
Ia benar-benar tidak takut akan sesuatu yang sudah ia lakukan, ia sudah bertekad bahwa apa yang sudah ia lakukan adalah sesuatu yang benar.
"Dengan keberanian apa lo lakuin ini semua? Emang lo punya keuntungan apa kalau bunuh orang?"
Pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan oleh Alvian tak satu pun dijawab olehnya, ia hanya menatap Alvian dan Renjio tanpa beralih kemanapun. Tatapannya menatap tajam.
Kemudian ia tertawa, tertawa dengan terbahak-bahak seolah-olah ada yang lucu dari suasana ini. Ia memegang kepalanya, "kenapa kalian bisa tahu gue sedang bersembunyi?"
"Apapun yang udah lo lakuin, itu pasti meninggalkan jejak. Jejak yang lo tinggalin itu banyak dan benar-benar kelihatan."
"Gue cuman saranin aja, kalau lo mau membunuh orang. Minimal lo bersihin jejak lo lebih bersih lagi, kalau bisa pake Molto biar wangi!" tambah Renjio penuh penekanan.
"Heh! Perjalan karir gue sebagai pembunuh ngak selesai sampai sini yah, ada dua bangke kayak kalian yang belum gue musnahin! Lain kali gue bakal lebih berhati-hati lagi kalau mau bunuh orang!"
"Gue punya uang banyak, emang lo berani bunuh gue? Lo kan beraninya membunuh orang-orang yang ngak berduit, karena gue berduit. Lo berani, ngak?" ancam Alvian.
Dia hanya berdecak, dirinya sudah dihantui oleh kegelapan yang sedang memutarkan angin di dalam otaknya. Seakan-akan kini otaknya tengah terguncang oleh kenyataan.
Kenyataan bahwa kini ia telah berubah menjadi monster yang memiliki sebuah darah di tangannya, darah dari para manusia yang tak memiliki rasa salah kepadanya.
"Emang uang bisa membantu lo dari kematian?ngak Alvian, gue bukan membunuh orang bokek! Tapi gue membunuh orang yang telah menghalangi jalan gue!"
"STOP! DIANA, GUE MOHON! Lo bukan Diana yang gue kenal, lo kenapa sih? Kita semua punya salah apa sama lo?"
Diana hanya tertawa meledek Alvian, "Lo ngak salah apa-apa Alvian, yang salah itu Allen. Dia yang udah hancurin dunia gue!"
"Dia emang berbuat apa sama lo? Bilang sama gue, Na. Allen punya salah apa sama lo sampai lo harus bunuh Dera sama Melodi! Kenapa ngak dibicarakan baik-baik"
"Mereka itu cuman nyamuk yang udah ganggu gue, gue merasa terganggu dong. Makanya gue bunuh mereka, biar mereka itu sadar! Kalau dibicarakan baik-baik, itu ngak akan ada ujungnya!"
"DIANA! LO HARUS PERGI KERUMAH SAKIT JIWA DEH, OTAK LO UDAH GILA MACEM ANJ*NG TAHU GAK?!" Renjio menepuk pundak Alvian, kini kemarahan Alvian sudah mencuat ke permukaan kepada Diana.
Benar, Diana adalah pelaku dari pembunuhan Dera dan Melodi. Semuanya terungkap ketika tanpa sengaja Alvian dan Renjio yang menemukan boneka yang sudah usang dan berlumuran darah tersimpan di depan pintu kosan Dera.
Dengan jelas mereka menyaksikan bahwa Diana lah yang telah menyimpannya di sana, dengan senyum penuh kemenangan Diana tersenyum di depan pintu kosan Dera.
Diana menangis di depan Alvian dan Renjio, ia menyimpan tangan di depan dadanya.
"Gue mohon maafin gue, gue bakal lakuin apapun supaya Allen bisa lenyap di bumi ini!"
Ingin rasanya Alvian mencekik leher Diana sekarang juga, namun dengan sigap Renjio menghalangi niat Alvian. Renjio tidak mau karena amarahnya Alvian keadaan akan semakin kacau.
"DIANA BANGSAT, KEJAHATAN LO BAKAL GUE LAPORKAN KE KANTOR POLISI. GUE GAK PEDULI KALAU LO ITU ANAK DIREKTUR, ANAK MENTERI ANAK PRESIDEN. GUE GAK PEDULI!!
"Hahaha, lo jangan menjadi manusia yang paling menyedihkan. Dimana Alvian yang gue kenal? Asal lo tahu yah, lo itu udah menjadi manusia yang setara sama sampah!"
"Cukup Diana! Jangan sampai ibu lo tahu kelakuan lo, atau jangan-jangan emang ibu lo tahu tentang kejahatan lo. Karena kalian itu sama-sama pembunuh!" tutur Renjio.
"Heh Renjio, lo jangan bawa-bawa ibu gue. Urusan ini ngak ada sangkut-pautnya sama ibu gue. Kalau lo benci gue, ya udah hina gue! Bukan ibu gue. Lagian lo siapa sih main nyerocos aja?"
"Sayangnya gue lebih benci ibu lo, hidup gue menderita karena ibu bajingan lo itu. Yang tubuhnya di penuhi oleh emas beratus kilo gram emas."
"Renjio brengsek, emang lo kenal sama ibu gue! Lo jangan ngomong sembarangan!"
Renjio berdecak, "ada berapa orang sih manusia yang telah menjadi korban ibu lo!"
"Maksud, lo?!"
"Dengar ya, Diana. Gue gak bakal kasih tahu ini semua kepada siapapun termasuk Allen, Axel atau pun Devin. Gue cuman mau Lo untuk menyerahkan diri,"ucap Alvian.
Diana mengangguk tanpa penyesalan, kemudian ia melangkah melewati mereka berdua dengan tampang tanpa dosa.
Diana belum menyesal dengan semua yang sudah ia lakukan, pikirannya benar-benar sudah melaju ke jalan yang salah. Ia sudah kehilangan arah.
♡♡♡
"Lo harus kuat, Alvian. Lo harus terima kalau dalang di balik ini semua adalah Diana. Dia adalah orang yang udah membunuh Dera."
"Gue sedang mencerna kenyataan ini, Renjio. Kenyataan ini bagi gue benar-benar berat, Diana adalah sahabat gue dari kecil. Dan gue udah anggap dia sebagai adik gue sendiri!" Alvian mengusap wajahnya gusar.
"Semua teka-teki yang kita cari, telah terpecahkan. Hanya tinggal menunggu waktu agar Diana bisa sadar–" ucapan Renjio terpotong oleh Alvian.
"Dan menunggu waktu dimana orang-orang tahu tentang topeng yang sedang di pake oleh Diana, sekarang gue udah ngak peduli tentang siapa dia bagi gue. Karena sekarang dia bukanlah Diana yang gue kenal, dia sudah mengotori tangannya sendiri."
Renjio menepuk pundak Alvian, Renjio berusaha menenangkan pikiran Alvian yang sudah terlihat tidak baik-baik saja. "Lo pasti bisa melewati ini semua, ada gue disini! Gue yakin masalah ini akan segera terlewatkan nanti."
"Makasih Jio, gue gak tahu kalau ngak ada lo. Karena gak mungkin kalau gue harus membicarakan ini ke Axel atau pun Devin, atau bahkan Allen. Mereka semua pasti akan langsung bertindak yang nggak-nggak."
"Tapi, saran dari gue. Mending lo jangan beri tahu mereka sekarang deh, biarkan Diana sadar dulu. Setelah itu beritahu mereka, karena gue takutnya mereka malah menyebarkan berita ini. Dan semuanya akan tahu tentang kejahatan Diana. Bukannya gue ngak percaya sama mereka, tapi memang lebih baik cuman kita-kita aja yang tahu."
"Pikiran lo sama kayak gue, gue gak bisa membayangkan betapa kagetnya mereka ketika tahu apa yang sebenarnya terjadi. Gue juga gak mau, kalau gue yang kasih tahu mereka langsung!"
"Oh ya, gue mau tanya sesuatu sama lo. Gue gak sengaja dengar percakapan Axel dan juga Diana di ruang privasi. Mereka berdua membahas sesuatu tentang malam? Berduaan?"
"What?" Alvian mengerutkan keningnya, ia benar-benar kaget atas perkataan yang di ucapkan oleh Renjio. Disisi lain ia juga sedih, betapa tidak tahu menahunya dia tentang sahabat-sahabatnya.
"Apakah mungkin Axel dan Diana sudah bermalam berdua?"
Alvian menggeplak tangan Renjio agak kasar, lalu ia tertawa tidak percaya.
"Ngak mungkin, mereka cuman Deket doang sebagai sahabat ngak lebih."
![](https://img.wattpad.com/cover/316314393-288-k767752.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Renjio [ END ]
Teen Fiction15 Juli 22 - 6 Mei 23 Renjio, hidupnya dikelilingi oleh rasa bersalah kepada sahabat kecilnya Keisya. Seakan-akan kini Keisya sedang menghukum Renjio, namun ternyata hukuman itu sangat menyakitkan bagi Renjio. Seusianya ini, Renjio masih tidak bisa...