Abigail hanya melamun di mejanya, tangannya menumpang dagu yang ditekuk penuh kesedihan. Sudah tiga hari setelah terakhir kali Abigail menghadiri pemakaman Dera, wajahnya tampak tidak semangat.
Rasa bersalah kini menempati hati Abigail, kalau saja ia mengerti dengan apa yang dikatakan Dera, mungkin ia akan mengubah dan menolong Dera lebih awal, ia benar-benar tidak tahu.
"Kalau memiliki rasa bersalah sama orang yang udah mati, itu kita harus gimana ya?" Abigail bertanya kepada dirinya, namun Renjio menoleh ke arah Abigail. Ucapannya benar-benar membuat Renjio tertarik.
"Mungkin kita harus menebusnya dengan kepedihan," ucap Renjio.
Abigail menatap ke arah Renjio yang sedang menatap ke arahnya juga. "Maksudnya?"
"Hidup kita tak akan sama lagi. Kita tak pantas berbahagia di dunia ini, karena di sisi lain ada rasa bersalah yang belum kita untaikan sama mereka yang udah pergi meninggalkan kita terlebih dulu. Rasa bersalah akan terus menghantui sampai kita mati!" jelas Renjio.
Ini pertama kalinya Renjio mengobrol dengan Abigail panjang lebar, biasanya ia hanya membalas ucapan Abigail dengan singkat. Seperti: hemm, Iyah, terserah atau bahkan hanya mengangguk.
Mungkin perkataan Abigail kali ini adalah hidupnya sekarang, karena Renjio hidup di dalam bayang-bayang perasaan bersalah kepada sahabatnya Keisya. Iya tidak bisa meminta maaf kepada Keisya atas semua kesalahannya.
"Gue gak mau hidup seperti itu, gue yakin gue gak seratus persen bersalah di sini!"
"Mau lo berfikiran seperti itu pun percuma, rasa bersalah itu seakan-akan sedang mengikuti mu kemanapun lo pergi! Lo gak bisa menyangkalnya," tegas Renjio.
"Terus gue harus gimana? Ini juga termasuk tentang masa depan gue! Gue gak mau gara-gara ini hidup gue hancur!"
"Mungkin lo harus terbiasa hidup berdampingan dengan rasa bersalah itu."
Abigail menelan ludahnya, ia menatap tajam Renjio dengan amarah. Perasaannya bukannya lebih baik malah lebih buruk lagi jika harus meladeni seorang Renjio.
"Benar kata Seno, gue seharusnya gak duduk di sebelah lo. Darah tinggi gue kumat tahu gak lo?!"
Renjio memutar bola matanya. "Lo jangan hidup seperti gue, lo harus bisa mengontrolnya sendiri." Setelah itu Renjio pergi meninggalkan Abigail.
"Heh! Lo mau kemana?!" tanya Abigail namun tidak dijawab oleh Renjio, ia hanya pergi keluar kelas membawa buku-bukunya.
Abigail mengusap jidatnya, mood nya tambah hancur karena Renjio.
Abigail berjalan di tengah lorong yang ramai, mereka semua berlarian mengejar satu sama lain dan tertawa lepas bersama. Abigail hanya berjalan dengan menunduk, ia akan pergi ke taman sekolah untuk mencari udara untuk rasa penatnya.
DUGGG
Tanpa sengaja Abigail menabrak seseorang yang tengah membawa tumpukan buku ditangannya, ia juga menggendong tas di punggungnya.
Wanita itu jatuh ke atas lantai, semua buku-buku yang ia pegang berjatuhan. Wanita itu juga hanya sedikit kesakitan mengusap lutut kakinya.
"Eh maaf, gue gak liat lo," ucap Abigail.
Wanita itu hanya tersenyum ramah, ia mengusap roknya yang tidak kotor. Abigail membantu wanita itu mengambil buku-buku yang ada di lantai.
"Bentar, lo Melodi kan? Temennya Dera?" Abigail baru sadar jika wanita yang ia tabrak adalah teman dekatnya Dera.
Melodi adalah teman kecil Dera, sampai sekarang mereka sering terlihat bersama-sama. Namun Melodi sama seperti Abigail, ia tidak berani membela Dera ketika di bully. Sebagai sahabat Dera, Melodi merasa ia tidak berguna, bahkan seharusnya ia tidak cocok untuk di sebut sebagai sahabat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Renjio [ END ]
Teen Fiction15 Juli 22 - 6 Mei 23 Renjio, hidupnya dikelilingi oleh rasa bersalah kepada sahabat kecilnya Keisya. Seakan-akan kini Keisya sedang menghukum Renjio, namun ternyata hukuman itu sangat menyakitkan bagi Renjio. Seusianya ini, Renjio masih tidak bisa...