chapter fifteen

623 77 0
                                    

Suasana begitu riuh di aula istana Kerajaan Dagmar. Kali ini tak hanya para bangsawan dari Kerajaan Dagmar saja yang hadir memenuhi undangan Sang Ratu, para Raja dari seluruh Kerajaan taklukan Kerajaan Dagmar yang bersumpah setia pada Sang Ratu juga ikut memenuhi undangan Sang Ratu.

Mereka sangat kacau. Saling menyalahkan satu sama lain, mereka mendorong, menghardik, bahkan menghunuskan pedang mereka pada satu sama lainnya.

"Yang Mulia Ratu telah tiba!" kekacauan itu seketika mereda saat sosok Ratu yang begitu anggun berjalan menuju tahtanya.

Penampilan Sang Ratu saat itu begitu berbeda dari hari-hari biasanya. Ia mengenakan jubah berwarna putih polos dengan topeng yang terbuat dari perak menutupi wajah cantik Sang Ratu dan sebuah pedang yang disarungkan menggantung di ikat pinggang Sang Ratu. Sang Ratu kemudian terduduk di atas tahtanya.

Jeffrey, putra sulung dari Raja sebelumnya duduk di kursi yang letaknya tak jauh dari tahta Ratu. Ia berdiri, lalu berkata pada Sang Ratu "Pernyataan yang diajukan Yang Mulia Ratu di konferensi pers sangat membahayakan kita. Kita tidak bisa berperang habis-habisan melawan Kerajaan Deunia, Yang Mulia. Kita tak bisa, kekuatan kita belum cukup untuk melawan kekuatan gabungan dari Kerajaan Deunia dan Kekaisaran Amaya."

"Itu bohong!" Ryce yang duduk di seberang Jeffrey lantas berdiri. "Kebohongan besar jika kau berkata bahwa kita tak mampu melawan mereka, Paduka Pangeran. Kerajaan kita tak bisa diam saja di saat Kerajaan mereka menghimpun kekuatan. Kita harus berperang melawan mereka, perang harus terjadi!"

"Kau salah, Viscount Nechten." Yorgo yang berada di pihak Jeffrey kini ikut berdiri. "Kekuatan kita belum seberapa ketimbang kekuatan Kekaisaran Amaya. Kerajaan Deunia mungkin memang sudah kewalahan menghadapi Kerajaan kita, tapi tidak dengan Kekaisaran Amaya. Kita belum pernah berhadapan langsung dengan pasukan mereka."

"Viscount Nechten, Baron Omiros, dan Duke Arcangel." Sang Ratu mengarahkan pandangannya pada ketiga pria itu satu per satu. "Kita hadir di sini bukan untuk saling menyalahkan satu sama lain. Kalian mungkin menentangku, tapi inilah yang harus terjadi. Teman Ratu kita, Ratu Irene dari Kerajaan Faulkner tak dapat kembali ke Kerajaannya sendiri karena ditahan oleh Kerajaan Deunia. Dan yang menahannya adalah,"

"seorang penyihir dari Kerajaan Dagmar." semua orang saling menatap satu sama lain setelah mendengar ucapan Sang Ratu.

"Tapi kita tak bisa berperang secara langsung dengan Kerajaan Deunia, Yang Mulia." Jeffrey tampak masih saja menentang Sang Ratu. "Tak peduli apapun alasan kita, kita tak bisa berperang melawan mereka secara langsung. Jika kita berperang, kita mati. Akan banyak nyawa prajurit gugur dalam perang yang sia-sia ini."

"Kita tak bisa berperang!" seruan Jeffrey diikuti oleh orang-orang yang mendukung usulannya di pertemuan itu.

"Itu bohong!" Ryce dan para pendukungnya juga tampak tak mau mengalah. "Kita harus berperang! Demi kemuliaan Ratu! Demi kemuliaan Kerajaan Dagmar!"

"Demi kemuliaan Ratu!" para pendukung Ryce berseru seraya mereka mengacungkan pedang mereka tinggi-tinggi.

Sementara itu Sang Ratu yang terduduk di tahtanya menatap mereka dari balik topengnya. Sang Ratu pun bergumam "Orang-orang bodoh. Mereka bahkan tidak bisa bersatu di saat-saat seperti ini."

Seseorang berjalan di antara kericuhan itu mendekati Sang Ratu. Ia menunduk sejenak lalu menyerahkan sepucuk surat pada Sang Ratu. Lantas Sang Ratu pun mengambil surat itu dan membuka segel yang mengunci surat itu.

Kedua manik mata hazel milik Sang Ratu bergerak mengikuti untaian kata-kata yang tertulis pada surat itu. Setelah selesai membaca surat itu, Sang Ratu lantas memberikannya kembali pada orang yang tadi menyerahkan surat itu pada Sang Ratu.

"Siapkan kudaku." bisik Sang Ratu pada orang itu. "Aku akan pimpin pasukan."

"Tapi, Yang Mulia." orang itu tampak tak yakin dengan keputusan Sang Ratu. "Ini akan menjadi pertempuran yang besar. Keselamatan jiwa Yang Mulia akan terancam jika Yang Mulia yang memimpin pasukan."

Sementara itu Sang Ratu menggeleng. Ia menghempaskan tangannya menyuruh orang itu melakukan perintahnya.

"Diam!" Ryce berseru saat Sang Ratu mengangkat tangan kanannya.

Sang Ratu lantas berdiri. Ia berjalan menuruni satu dari tiga anak tangga di sana dan kemudian ia pun berkata "Pasukan Kerajaan Deunia hampir tiba di perbatasan dengan Raja mereka yang memimpin pasukan. Kita tak bisa mundur."

Sang Ratu kembali menuruni satu anak tangga itu. Ia kemudian mengacungkan pedangnya seraya ia berseru "Bentuk pasukan!"

 Ia kemudian mengacungkan pedangnya seraya ia berseru "Bentuk pasukan!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Lembah Beryl, sebuah tempat yang ada di perbatasan Kerajaan Deunia dan Kerajaan Dagmar. Tempat yang indah dengan hamparan rumput hijau seluas mata memandang. Namun keindahannya tak akan bertahan lama setelah nanti tempat itu akan menjadi lautan untuk darah yang tertumpah di tempat itu.

Jeconiah menunggangi kuda putihnya lengkap dengan baju zirah berwarna emas diikuti oleh ratusan ribu pasukan yang berjalan di belakangnya. Tombak-tombak yang dibawa oleh para prajurit terdepan dalam pasukan Jeconiah berdiri tegak sehingga mampu membuat siapa saja bergidik ngeri melihatnya.

Sementara itu dari kejauhan, Jeconiah yang berjalan paling depan dapat mendengar suara gemuruh yang mulai bergerak mendekat.

Perlahan-lahan sosok Nanette bersama dengan pasukannya terlihat jelas mendekati pasukan yang dipimpin oleh Jeconiah sendiri.

Dengan menunggangi kuda hitamnya, Nanette mengenakan baju zirah berwarna putih mengkilap dengan setengah dari wajah cantiknya yang tertutupi oleh topeng perak.

Nanette mengangkat tangan kanannya mengisyaratkan pasukannya untuk berhenti. Lantas kuda yang ditunggangi oleh Nanette berjalan mendekati Jeconiah yang juga berjalan sendiri tanpa ditemani oleh seorangpun.

Nanette kembali mengangkat tangan kanannya menyapa Jeconiah dengan menyunggingkan senyumannya pada bibirnya yang tak tertutupi oleh topeng. "Senang bertemu kembali denganmu, suamiku."

Jeconiah menatap wajah pria cantik yang ada di hadapannya itu dengan datar. Ia kemudian juga mengangkat tangan kanannya seraya ia berkata "Tapi kita di sini bukan bertemu sebagai pasangan suami istri. Sebaiknya kau tarik mundur pasukanmu, buat pernyataan bersalah atas tragedi kota Orfias, lalu ganti kerugian Kerajaan Deunia, maka kuanggap ini tak pernah terjadi."

Senyuman yang terukir di wajah Nanette kini berubah menjadi sebuah tawa. "Kaulah yang seharusnya menarik mundur pasukanmu, Raja Jeconiah. Pulanglah dengan selamat ke Kerajaanmu sendiri lalu akuilah kekuasaanku sebagai Kaisar Dagmar, maka aku akan mengampuni jiwamu."

"Kekaisaran Dagmar tidak boleh terbentuk." ucap Jeconiah.

Nanette meredakan suara tawanya dan kembali tersenyum. Ia menggeleng seraya berkata "Dia akan terbentuk, tak peduli kau setuju atau tidak setuju."

"Begitu juga dengan perang ini." Jeconiah lantas melompat turun dari kudanya. "Aku ingin perang tanding. Kirimkan kesatria pilihanmu, Ratu Nanette."

Nanette pun kemudian menoleh ke belakang. Ia menatap pada pasukan kavalerinya yang ada di belakang pasukan pejalan kaki. Nanette kemudian melompat turun dari kudanya lalu ia menghunuskan pedangnya. "Kenapa tidak kita selesaikan masalah ini berdua saja?"

To be continued.

LONG LIVE THE QUEEN | NORENMIN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang