chapter twenty four

600 82 17
                                    

Siang itu, langit terlihat begitu gelap. Awan keabuan tampak menutupi sinar matahari diikuti dengan rintik hujan yang membasahi tanah pemakaman, seolah alam ikut berduka atas kematian Sang Ratu.

Nanette, Sang Ratu dari Kerajaan Dagmar telah dimakamkan, dengan upacara pemakamannya yang dihadiri oleh tak hanya para bangsawan tapi juga Raja-raja dari seluruh penjuru Benua Barat.

Dan tak hanya para penguasa, rakyat-rakyat jelata juga turut memenuhi sepanjang jalanan di Kerajaan Dagmar, melempar bunga mawar putih sebagai penghormatan terakhir kepada Ratu mereka.

Bendera-bendera juga ikut dikibarkan setengah tiang, seluruh kegiatan harian dihentikan selama sehari, dan gereja-gereja di seluruh penjuru Kerajaan dipenuhi oleh para jemaat yang ikut mendoakan Ratu mereka agar tenang di alam sana.

Jeffrey, kakak dari Mendiang Ratu Nanette, berdiri di atas podium di depan para tamu undangan yang menghadiri upacara pemakaman. Dengan tatapannya yang sendu, ia berkata "Ratu Nanette adalah sosok Ratu yang begitu dicintai oleh rakyatnya. Tak ada yang bisa mengalahkannya dalam hati kita. Kematiannya yang begitu mendadak, terlalu menyakitkan hati kita. Bagai pedang yang menusuk, begitulah rasa sakit yang kita rasakan. Bagai bara api yang membakar, begitulah amarah yang kita rasakan. Musuh kita, Kerajaan Deunia, telah membunuh Ratu kita yang tersayang. Dan di sana, mereka menertawakan kita, menghina kita, dan meremehkan kita. Siapapun yang menjadi musuh kita harus hancur!"

"Matilah mereka!" Jeffrey tersenyum puas saat melihat para bangsawan dan Raja-raja itu berseru.

Lalu Jeffrey kemudian berjalan turun dari podium dan masuk ke dalam kereta kudanya bersama dengan istrinya, Theodore.

"Kau pasti lelah," Theodore mengelus-elus rambut Jeffrey yang bersandar pada bahunya. "Tidurlah sebentar. Ayahmu ingin bertemu denganmu saat kita sampai di istana nanti."

"Aku tak mengantuk." jawab Jeffrey.

Sejujurnya, ada sedikit perasaan sedih dan bersalah dalam hati pria itu. Bagaimanapun juga ia dan istrinya pernah berteman baik dengan Nanette. Tak hanya itu, Nanette juga adiknya sendiri. Tapi semua kenangan indah itu harus berakhir begitu saja setelah Nanette mengambil tahta yang seharusnya menjadi miliknya.

Namun semua itu tak terjadi begitu saja. Jeffrey tahu apa yang harus dilakukan olehnya. Hidup di dalam istana tak membuatnya hanya mengerti tentang etika dan hukum Kerajaan. Ia juga harus memiliki siasat agar ia bisa bertahan hidup lebih lama.

Setelah menempuh perjalanan beberapa saat, kereta kuda itu akhirnya sampai di istana Kerajaan. Seorang pelayan membukakan pintu lalu Jeffrey dan Theodore pun turun dari kereta kuda itu.

"Paduka Pangeran," pelayan yang tadi membukakan pintu untuknya kini membungkuk sejenak padanya. "Yang Mulia Raja telah menunggu Paduka di taman istana."

"Baiklah," Jeffrey menoleh pada Theodore lalu mengangguk. Ia menggandeng tangan istrinya itu lalu berjalan menuju taman istana.

"Ayah," Jeffrey berjalan menghampiri seorang pria berambut putih yang tampak sedang menggendong anak laki-laki.

"Jeffrey," pria berambut putih itu, Sang Raja lantas menurunkan anak laki-laki yang tak lain adalah Sunny dari gendongannya lalu ia memeluk tubuh putra sulungnya itu.

"Bubu!" Sunny tampak senang saat Theodore datang. Ia berlari ke arah Theodore lalu memeluk erat tubuhnya.

"Kau tak jadi anak nakal saat bubu tak di sini, kan?" Theodore dengan lembut mengusak rambut putranya itu sembari sesekali mengecupinya. Sunny hanya mengangguk dalam pelukan Theodore.

Sementara itu, Sang Raja yang berdiri tak jauh dari mereka berdua lantas menunjuk dan menoleh pada Jeffrey. "Lihatlah putramu itu. Dia sangat manja."

"Kurasa begitu." Jeffrey terkekeh melihat tingkah manja putra semata wayangnya itu.

Sedangkan Sang Raja yang ada di sampingnya tampak menatapnya dengan serius. "Dia tak bisa terus bersikap manja jika ingin menjadi pewaris tahta."

"Ayah," Jeffrey pun lantas menoleh pada Sang Raja. "Apa ayah menyesal telah mendukungku?"

"Tidak," Sang Raja tersenyum menggenggam kedua pundak Jeffrey dengan lembut sembari ia menggeleng. "Kau satu-satunya putra ayah yang ayah miliki."

"Bagaimana dengan Nanette?" tampaknya Jeffrey masih belum bisa menghilangkan rasa bersalah dalam hatinya. "Nanette juga putra ayah."

"Nanette," Sang Raja memalingkan wajahnya dari Jeffrey. Ia memajukan kakinya beberapa langkah lalu ia mengarahkan pandangannya pada langit yang mulai kembali cerah. "Dia hanyalah ketidaksengajaan yang ayah perbuat pada ibunya. Satu-satunya wanita yang ayah cintai hanyalah ibumu, bukan wanita penyihir itu. Ayah melakukannya agar Kerajaan kita mendapatkan dukungan dari keluarga Celesta."

"Kalau begitu aku tak akan mengecewakan ayah." Jeffrey sedikit lega setelah mendengar perkataan dari Sang Raja. "Kekaisaran Dagmar, aku akan mewujudkan impian ayah."

"Kau benar, Jeffrey." Sang Raja berbalik, lalu ia menepuk bahu putranya itu. "Lakukanlah. Jadilah Kaisar dari Kekaisaran Dagmar, dan buatlah putramu bangga atas perbuatanmu."

"Dengan senang hati, ayah." Jeffrey tersenyum, lalu menunduk sejenak pada Sang Raja.

Jeconiah sudah sedari tadi berjalan mondar-mandir di ruangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jeconiah sudah sedari tadi berjalan mondar-mandir di ruangannya. Satu jam berlalu tapi Jeconiah masih tampak tak berhenti. Ia juga berulang kali memeriksa arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.

Kekhawatirannya terus memuncak. Sudah hampir sehari berlalu tapi Jeconiah belum juga menerima surat dari istrinya. Ia sangat khawatir, takut jika istrinya itu mengalami hal yang buruk.

Kini Jeconiah berjalan menuju meja kerjanya. Whiskey yang sudah lama tak disentuh olehnya akhirnya ia minum juga. Pikirannya terlalu kacau saat ini dengan segala kekhawatiran yang menyelimuti benaknya.

"Ayah," sementara itu Jasper yang duduk di sofa mulai merasa tak nyaman dan kemudian menoleh pada Jeconiah. "Bisakah ayah berhenti? Aku yakin Nana baik-baik saja."

"Kau yakin?" Jeconiah berdecak kesal pada putranya yang tampak acuh itu. "Sudah hampir sehari berlalu, Jasper. Dan Nanette belum juga mengabariku."

Sebenarnya Jasper sama khawatirnya dengan Jeconiah, tapi Jasper terus mencoba untuk tidak berburuk sangka.

Tawa Jasper pecah, ia pun berkata "Kini ayah tergila-gila pada Nana, kan. Kenapa dulu ayah tidak menjaganya agar tetap di sisi ayah?"

"Diam kau." ucap Jeconiah dengan eskpresi wajahnya yang masam. "Dulu kau juga sama tergila-gilanya sepertiku pada Nanette."

"Itu dulu, ayah." Jasper menghentikan tawanya, diikuti dengan helaan nafasnya yang panjang. "Harus kuakui tidak seharusnya aku menaruh perasaan pada Nana."

"Nevermind," Jeconiah kemudian berjalan menghampiri Jasper lalu terduduk di sebelahnya.

Tak lama kemudian terdengar suara ketukan dari pintu ruangan itu. "Yang Mulia,"

"Masuklah," ucap Jeconiah mempersilahkan pengetuk pintu itu untuk masuk.

Seorang pelayan berjalan masuk dan membungkuk untuk waktu yang sangat lama. Pelayan itu tampak tak berani memandang pada wajah Jeconiah.

"Ada yang ingin kau katakan?" Jasper bertanya pada pelayan itu yang tampak menundukkan wajahnya.

"Kau tidak mendengar putraku bertanya padamu?" lama-lama Jeconiah geram dengan pelayan itu yang masih tetap enggan untuk berbicara.

"Maafkan saya, Yang Mulia." pelayan itu berkata dengan sangat lirih. "Ratu Nanette telah wafat."

To be continued.

LONG LIVE THE QUEEN | NORENMIN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang