chapter thirty twoo

660 77 2
                                    

Sebuah pintu rahasia terbuka saat Jeffrey memutar salah satu ornamen patung yang menghiasi dinding. Lorong yang ada di balik pintu itu terlihat sangat gelap tanpa adanya sedikitpun pencahayaan yang menerangi lorong itu.

Jeffrey dan ayahnya kemudian mulai melangkahkan kakinya menuruni tangga yang ada di lorong itu. Dinginnya udara sekitar terasa sangat menusuk kulit mereka.

Setelah berjalan cukup lama, mereka akhirnya sampai di ujung tangga itu. Ayahnya kemudian menggandeng tangan Jeffrey agar pria itu tak tersesat dalam lorong yang begitu gelapnya.

Setelah mereka berdua berjalan menyusuri lorong, mereka akhirnya sampai di tempat yang dituju.

Pria tua itu kemudian mengambil sebuah pemantik api dari dalam sakunya dan kemudian menyalakan sebuah obor yang menempel di dinding.

"Irene!" pria tua itu mengukirkan senyuman pada wajahnya saat melihat sosok wanita yang berdiri memunggunginya terkurung di balik jeruji besi. "Kau sudah kerasan tinggal di sini?"

"Mungkin," Irene lantas berbalik dan mengukirkan senyuman tipisnya pada pria tua itu. "Kau tak akan kemari jika tak ada masalah yang terjadi pada putramu itu."

"Oh Irene," pria tua itu menekuk bibirnya. "Tidak bisakah kau untuk sedikit berbasa-basi? Atau berterus terang memang sudah kebiasaan kaum penyihir?"

"Hentikan celotehanmu, Ascott." Jeffrey yang berdiri di samping ayahnya tampak terkejut saat sosok wanita penyihir itu dengan lancangnya menyebut nama ayahnya. Ini kali pertamanya ada seseorang yang menyebut nama pria tua itu dengan lancang.

Sementara raut wajah pria tua itu kini berubah. "Kau pikir The Fallenangle dapat mengalahkan Arcangel? Mungkin kau tak tahu karena kau adalah kaum penyihir, tapi Mikhael the Arcangel akan memenangkan pertarungannya dengan Lucifer the Fallen Angle."

"Benarkah?" Irene lantas tertawa keras sehingga suara tawanya menggema dalam lorong itu. "Tapi apa kau juga tahu kalau dulunya Lucifer the Fallen Angle juga merupakan bagian dari The Archangel?"

"Itu tak merubah fakta bahwa Mikhael tetap memenangkan pertarungannya." ucap Ascott dengan raut wajahnya yang datar.

Irene mendecih pelan. Ia kemudian kembali berbalik memunggungi Ascott lalu ia berkata "Tetapi Mikhael akan selalu menjadi pelayan surga, berbeda dengan Lucifer yang menjadi penguasa neraka."

"Dan juga," Irene menoleh sekilas sembari menatap Ascott melalui ekor matanya. "Kalian tidak bisa diibaratkan sebagai Mikhael yang Agung. Tapi kalian juga tak sama liciknya dengan Lucifer sang Putera Fajar."

Wanita penyihir itu lantas mengibaskan lengannya seraya merapalkan sebuah mantra. Sebuah kabut hitam yang tebal pun memenuhi jeruji besi itu membuat sosok wanita penyihir itu tak terlihat di dalamnya.

Jeffrey lantas menoleh, ia kemudian bertanya pada ayahnya "Kenapa dia masih bisa menggunakan mantranya di sini?"

"Jangan khawatir," Ascott pun menepuk bahu Jeffrey. "Ia hanya menyembunyikan dirinya. Tak mungkin ia bisa kabur dari penjara ini."

Ascott kemudian berpaling dari Jeffrey. Raut wajahnya yang tenang kini berubah menjadi lebih serius. "Kita tak dapat menemui Wendy karena penjaranya terpisah jauh dari sini. Kalau kau mau ayah bisa menggantikanmu naik tahta untuk sementara waktu sampai semuanya menjadi tenang."

"Tak perlu, ayah." Jeffrey menggeleng menolak tawaran dari ayahnya itu. "Kedepannya nanti mungkin akan ada masalah yang lebih serius. Kurasa ini saatnya aku melatih kepemimpinanku, kan?"

Ascott pun tersenyum saat mendengar ucapan putranya itu. "Kau benar, Jeffrey. Ayah akan selalu mendukungmu di sisimu."

"Terimakasih, ayah." ucap Jeffrey.

Lantas Ascott kemudian berkata "Naiklah. Biar ayah yang menutup ruangan ini."

Jeffrey mengangguk, lalu kemudian ia berjalan meninggalkan ayahnya itu dan mulai menaiki anak tangga satu per satu.

Sesampainya ia di atas, sesosok pria tampak sudah menunggunya sedari tadi.

"Sudah selesai dengan urusannmu?" Theodore bertanya dengan nadanya yang datar pada Jeffrey.

"Sudah," jawab Jeffrey. "Ada yang ingin kau bicarakan?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Jeffrey, Theodore justru berjalan meninggalkannya tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Melihat istrinya begitu saja meninggalkannya, lantas Jeffrey pun berjalan mengikut di belakangnya sampai akhirnya mereka berdua sampai di depan kamar mereka.

"Masuk," Theodore mengayunkan wajahnya mengisyaratkan Jeffrey untuk masuk. Namun sebelum suaminya masuk ke dalam kamarnya, Theodore sudah terlebih dahulu masuk.

Pria itu hanya menggeleng sambil meniup surainya melihat kelakuan istrinya yang tampak sedang tak enak hati. Lantas Jeffrey pun berjalan memasuki kamarnya sedangkan Theodore kini sudah terduduk di sofa di sisi kamar itu.

"Mau sampai kapan kau bersikap seperti ini padaku?" pria itu berkacak pinggang.

"Sampai kau menyadari kesalahanmu." ucapan yang keluar dari mulut Theodore terdengar penuh penekanan. "Mau sampai kapan kau terus berlindung di bawah ketiak ayahmu itu? Kau tahu, saat Nanette menjadi permaisuri di Kerajaan Deunia, hampir semua keputusan yang diambil oleh Raja Jeconiah berdasarkan kehendaknya. Tapi kau, kau bahkan tak bisa sedikitpun mempercayaiku."

"Semua ini untuk Sunny, Theodore." Jeffrey pun berusaha menjelaskan alasannya mengapa ia selalu berada di balik punggung ayahnya itu. "Aku tak ingin Sunny ikut terjerumus dalam dosa yang seharusnya aku dan ayahku yang menanggungnya."

"Kau berubah, Jeff," ucap Theodore sembari memalingkan wajahnya. "Kau berubah. Kau bukan lagi Jeffrey yang kukenal saat aku pertama bertemu denganmu. Kau bukan lagi Jeffrey Arcangel yang selalu mengerti isi hatiku tanpa aku harus bercerita padamu."

"Lalu aku harus bagaimana?" Jeffrey kini sudah putus asa menghadapi istrinya itu. "Aku harus bagaimana agar aku bisa memahamimu?"

Tanpa mereka berdua sadari, sudah sedari tadi ada sosok-sosok yang tersenyum puas saat melihat pertengkaran yang terjadi diantara pasangan suami istri itu.

Nanette pun kembali menjentikkan jarinya dan permukaan cermin itu berangsur-angsur kembali normal.

"Untuk keluarga Celesta." Nanette mengangkat gelas anggurnya dengan anggun, bersulang dengan Marie dan Jeconiah yang ikut hadir di ruangan itu.

"Untuk keluarga Celesta." Marie dan Jeconiah pun mengangkat gelas anggur mereka bersamaan.

Kemudian Nanette meletakkan kembali gelas anggurnya ke atas meja. Sudut bibirnya terangkat, ia pun berkata "Kaisar itu tak akan mampu menggenggam Kekaisaran yang tak cukup di tangannya."

"Tentu, Yang Mulia." Marie mengangguk setuju dengan ucapan Nanette. "Pada akhirnya keluarga kekaisaran akan saling curiga satu sama lain. Dan perlahan-lahan, mereka akan menghancurkan Kekaisaran itu sendiri."

"Kurasa begitu." Nanette ikut mengangguk kecil. "Cukup dengan memantik sebuah konflik kecil, dengan memanfaatkan sikap penakut Jeffrey akan kejatuhannya dan sikap posesif Theodore pada suaminya, Kekaisaran Dagmar perlahan-lahan akan jatuh dan rakyat tak akan lagi mempercayai keluarga Archangel itu."

"Tapi kita perlu memikirkan langkah selanjutnya, Yang Mulia." Jeconiah yang sedari tadi terdiam kini ikut bergabung dalam pembicaraan mereka berdua.

"Jeconiah benar." wajah Nanette kemudian menoleh pada Marie. "Kau ingat kuda unicorn yang pernah kuberikan sebagai hadiah pada Theodore, Marie?"

"Tentu, Yang Mulia." wanita itu mengangguk dengan penuh hormat pada Nanette. "Saya sendiri yang mengirimkannya pada Theodore."

"Bagus!" Nanette kemudian mengeluarkan sepucuk surat dari balik jubahnya lalu melemparkannya pada Marie. "Kirimkan itu pada pers. Buat semua rakyat Dagmar tahu tindakan ilegal yang dilakukan oleh istri Kaisar mereka."

To be continued.

LONG LIVE THE QUEEN | NORENMIN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang