chapter thirty one

644 76 6
                                    

Jeconiah tengah berdiri di depan sebuah pintu yang terletak di ujung lorong. Tanpa permisi, ia berjalan masuk ke dalam ruangan yang ada di balik pintu itu.

"Bagaimana kau bisa menemukanku?" Nanette yang tengah berbaring di ranjangnya tampak terkejut saat Jeconiah memasuki kamarnya. Ia pun kemudian mendudukkan tubuhnya bersandar pada sandaran ranjang itu. "Kau belum mengenal biara ini."

"Kau meragukan intuisiku sebagai Raja, Nanette?" pria itu menyeringai, lantas ia pun berjalan menghampiri Nanette yang terduduk di atas ranjangnya. "Aku tak seperti kakakmu yang manja yang bersembunyi di balik punggung ayahnya. Aku bahkan selalu menunduk setiap bertemu ayahku."

"Kau benar," Nanette mengangguk. Ia lantas menepuk-nepuk ranjang sebelahnya mengisyaratkan Jeconiah untuk duduk di sampingnya. "Sekarang aku sadar darimana datangnya sifat manja Sunny."

Jeconiah yang duduk di samping Nanette pun tertawa mendengar perkataan istrinya itu. Ia menarik tubuh Nanette ke dalam dekapannya sembari sesekali mengecupinya. "Kau tahu, Nanette. Kau semakin bertambah cantik setiap aku melihatmu."

Nanette pun mendongak. Ia menatap wajah Jeconiah penuh dengan perasaan curiga. Lantas ia pun bertanya "Pasti kau menginginkan sesuatu."

Jeconiah terkekeh saat melihat istrinya itu bertanya padanya dengan sinis. "Kau terlalu berterus terang."

Nanette pun mencebikkan bibirnya. Ia melipat kedua tangannya di depan dadanya seraya ia berkata "Kau tahu aku bukan bangsawan yang suka berbasa-basi."

"Seharusnya aku ingat itu." Jeconiah mengangguk kecil. Lantas ia pun kembali mengusak surai hitam milik istrinya itu sembari sesekali mengecupinya.

"Nanette," pria cantik itu hanya terdiam saat suaminya memanggil namanya. "Aku ingin itu,"

"Itu?" Nanette kembali mendongak, ia menatap wajah Jeconiah mencari tahu maksud dari ucapan suaminya itu. Kedua mata membulat saat ia menyadarinya, lantas Nanette pun memukul bahu Jeconiah dengan keras seraya berkata "Aku sedang mengandung anakmu, bodoh!"

Jeconiah meringis sembari mengusap-usap bahunya yang terasa sakit akibat pukulan dari istrinya. Entah mengapa pukulan dari pria cantik itu selalu terasa menyakitkan baginya.

"Sekali saja," Jeconiah menatap kedua manik mata hazel milik Nanette dengan tatapannya yang memelas. "Vanilla sex, aku janji."

"Jadi kau sekarang berpindah menjadi penganut vanilla sex, rupanya." sudut bibir sebelah kiri Nanette sedikit terangkat. "Dan nanti ditengah-tengah kau akan mengikat tanganku, menumpahkan lilin ke atas putingku, atau mungkin kau akan mencambuk punggungku, lalu kau akan membuatku terjaga semalaman suntuk karena ulahmu."

"Sial," batin Jeconiah. Hanya dengan mendengar perkataan Nanette saja bisa membuatnya terangsang. Sesuatu di bawah sana terasa sesak meminta untuk dibebaskan.

"Aku tak mau," Nanette dengan segera melepaskan dekapan Jeconiah pada tubuh mungilnya. Ia pun berdiri dan berjalan menuju pintu lalu kembali berkata "Aku masih ada pertemuan dengan orang-orangku."

"Dan kau," Nanette menoleh sebentar saat ia berada di ambang pintu. "Aku membutuhkanmu dalam pertemuanku malam ini." lantas ia pun berjalan meninggalkan Jeconiah sendirian di ruang kamarnya yang minim akan pencahayaan.

"Nanette!" seketika bulu kuduk Jeconiah berdiri saat Nanette meninggalkannya sendirian di ruangan itu yang begitu mencekam.

"Tunggu aku!" Jeconiah lantas beranjak bangun lalu berlari mengejar Nanette yang ternyata sudah berada jauh dari ruangan itu.

"Kau kejam." Jeconiah mencebikkan bibirnya pada Nanette lalu menyenggol bahu pria cantik itu sehingga pria cantik itu hampir terhuyung. Beruntung Jeconiah dengan sigap menahan tubuhnya.

Nanette pun melirik tajam pada Jeconiah. "Kau sendiri yang terus memaksaku."

"Tapi bukan berarti kau harus meninggalkanku sendiri di kamarmu itu." Jeconiah pun kembali mencebikkan bibirnya pada Nanette.

Nanette kini berdiri di depan Jeconiah, lalu dengan merentangkan kedua tangannya dan bibirnya yang mengerucut ia berkata "Gendong aku."

Jeconiah sebenarnya tak bisa menahan rasa gemasnya saat ini. Bagaimana bisa ada sesosok makhluk yang begitu menggemaskan kini berdiri di hadapannya sembari menatapnya memohon.

Namun Jeconiah dengan tegas menggeleng. Ia pun berkata "Kalau kau manja bisa-bisa anakmu juga ikut manja."

"Aaah," Nanette mengangguk kecil. Ia kemudian menarik nafasnya panjang lalu kemudian ia berteriak "Ryce! Gendong a—"

"—sshuutt!" dengan segera Jeconiah membungkam mulut Nanette dengan tangannya. Ia kemudian menarik tubuh Nanette ke dalam dekapannya lalu menggendongnya ala koala. "Ada banyak orang di sini, kenapa harus Ryce yang kau minta?"

Sementara itu Nanette menyeringai puas dengan kemenangannya. Ia tahu suaminya itu begitu lemah padanya.

Mereka berdua akhirnya sampai di sebuah ruangan besar di biara itu. Jeconiah menurunkan tubuh Nanette lalu mendudukkannya di kursi utama. Jeconiah sendiri duduk di sisi kanan Nanette.

Di tengah ruangan itu ada sebuah meja panjang. Di atasnya beberapa lilin menyala menerangi ruangan itu yang begitu gelap. Tak lama kemudian seekor burung gagak terbang memasuki ruangan itu melalui jendela yang terbuka.

Burung gagak itu kemudian berubah menjadi sosok Marie yang tengah berlutut pada Nanette. "Yang Mulia,"

"Duduklah," suruh Nanette sembari menunjuk kursi yang ada di sisi kirinya.

Marie mengangguk, ia kemudian berdiri lalu berjalan menuju kursi yang dimaksud oleh Nanette dan duduk di atasnya.

Sekelebat api membakar perapian di ruangan itu yang semula tak menyala. Namun nyala api itu hanya sebentar, setelah api itu berangsur-angsur padam, sosok Abigail keluar dari perapian itu lalu berlutut pada Nanette. "Yang Mulia,"

Nanette menunjuk pada kursi yang ada di samping Marie. Abigail mengangguk penuh hormat, lalu ia berjalan menuju kursi yang dimaksud oleh Nanette dan kemudian duduk di atasnya.

"Desa Birchland," tanpa berbasa-basi, Nanette langsung memulai pembicaraan di antara mereka berempat. "Kau yakin Kerajaan Atalla akan menganggap serius penyerangan Kerajaan Festus terhadap desa Birchland?"

"Tentu, Yang Mulia." Abigail yang merasa Nanette menatapnya pun mengangguk penuh hormat. "Saya sudah mempengaruhi Pangeran dari Kerajaan Festus untuk tetap maju dalam penyerangan ini. Sedikit demi sedikit wilayah Kerajaan Atalla akan habis diinvasi oleh Kerajaan Festus."

"Bagus," Nanette tersenyum puas setelah mendengar perkataan Abigail. "Kita adu domba mereka. Hancurkan kepercayaan mereka satu sama lain."

"Lalu, Marie," kedua netra hazel milik Nanette kini beralih pada Marie. "Bagaimana dengan teror yang kau mulai di Kekaisaran Dagmar?"

"Berjalan lancar, Yang Mulia." Marie pun mengangguk penuh hormat pada Nanette. "Beritanya bahkan dimuat di halaman utama di surat kabar."

"Bagus," Nanette kembali tersenyum, ia pun bertepuk tangan dengan bangga mengapresiasi wanita itu. "Kita buat pemerintahan Kekaisaran Dagmar lemah di hadapan rakyatnya sendiri dan kita rusak kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan Kekaisaran Dagmar."

"Dan, Jeconiah," kini pandangan Nanette beralih pada Jeconiah yang terduduk di sisi kanannya. "Kira-kira apa lagi yang harus kulakukan?"

"Menunggu, Yang Mulia." Jeconiah berbicara dengan tutur katanya yang sopan pada Nanette. Tak peduli Nanette adalah istrinya, di meja itu bukan Jeconiah yang memimpin mereka, melainkan Nanette. "Setelah semuanya berjalan lancar, biar saya berbicara langsung pada Jasper untuk memimpin penyerangan terhadap Kekaisaran Dagmar."

"Kau benar!" Nanette menepuk tangannya dengan keras. "Compagnie de Zuid-Deunisch adalah kartu as kita. Dan kartu as seharusnya digunakan disaat-saat terakhir."

To be continued.

LONG LIVE THE QUEEN | NORENMIN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang