02

1.4K 96 2
                                    

"Mama mau Kamu balikan lagi sama Rangga, kalo gak..."

Arane menghela napas panjang sebelum menarik sebuah pintu kaca sambil mendengarkan sabda sang mama via telepon.

"GAK MAU!" bantahnya keras, persetan ada pengunjung di kafe ini.

"Sayang! Mau ditaruh mana muka Mama nanti kalo ketemu Maminya Rangga, huh? Dia temen arisan Mama, sayang..." dari jauh sana sang mama berusaha membujuk.

"Aku gak mau, Ma..." tekan Arane berulang-ulang sembari menanyakan seseorang ke pihak kasir dengan sorotan matanya.

"Ada, Mbak." jawab si kasir muda sambil mengangguk sopan.

Arane melanjutkan langkah, mendorong sebuah pintu tak jauh dari meja kasir dan masuk tanpa mengetuk atau memberi salam.

"Aku gak denger, Aku gak denger!" cicit Arane sudah tidak betah meladeni keinginan sang mama agar ia kembali pada mantan yang baru diputuskannya seminggu yang lalu.

"Lihat aja apa yang Mama bakal lak-" ia segera mengetuk tombol merah dan mengakhiri kecerewetan sang mama.

"Ouhh ... anak durhaka." cibiran itu datang dari si penghuni ruangan kecil ini. Ia sudah tahu akan kedatangan Arane, sehingga ia tidak perlu marah atau kaget dengan kelakuan perempuan berbadan gendut tersebut.

Menarik kursi di depan si penghuni, Arane menjatuhkan bokongnya pada kursi stainless. "Jadi nikah?"

Si pria penghuni ruangan ini terkekeh geli, "Undangannya udah kusebar, mana mungkin gak jadi."

Tergelak singkat, "Aku ragu titisan buaya darat sepertimu akan menikah." cibirnya.

Si pria mendecih, sahabatnya masih saja belum percaya sepenuhnya bahwa ia memang serius ingin menikah.

"Endra, mending Kamu berhenti sekarang daripada merusak perasaan orang lain. Mumpung belum terlambat." saran Arane.

Endra, si pria penghuni ruangan ini terbahak. "Aku serius, Rane! Aku sudah banyak berubah sejak mengenal calon istriku ini."

"Oh, ya?" masih tersisip rasa kurang percaya di benak Arane. Mereka sudah berteman sejak SD, tabiat luar dalam Endra sudah ia hafal luar kepala.

"Gak percayaan banget jadi temen." balasnya sambil berdecak. Endra lantas mengeluarkan secarik kertas dari laci meja, menyodorkan pada Arane agar lebih menyakinkan.

"Aduh, mendadak merinding nih sekujur badan." kelakar Arane melihat secarik kertas alias undangan yang disodorkan padanya.

"Ini undangan khusus buat orang terdekat. Aku gak main-main kali ini, Rane." suara Endra terdengar tenang dan mantap.

Arane mendesah pendek, menangkap kilat keseriusan yang belum pernah ia lihat dari sang sahabat. "Aku akan jadi orang pertama yang nonjok mukamu kalo sampai omonganmu gak bisa dipegang."

"Ampun, Nyai! Ampun..."

...

Pandega kembali ke galeri pukul 3 sore setelah bertemu dengan Megantari dan mengurus beberapa hal di luar pekerjaan. Terlihat sepasang kekasih sedang mendiskusikan desain bersama Debbie saat ia masuk.

"Kebetulan sekali owner galerinya ada di sini." terang Debbie begitu Pandega duduk bergabung sebentar.

"Saya Pandega." Pandega menyalimi pasangan kekasih tersebut.

Satu persatu dari pasangan itu menyebutkan namanya sambil membalas salaman Pandega.

Terjadi obrolan sekejap sebelum akhirnya Pandega pamit ke ruangan pengerjaan. Memasrahkan sepenuhnya pada Debbie yang lebih ahli dalam memberi pelayanan.

UNDANGANPHOBIA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang