16-1

721 91 11
                                    

Arane kembali pada rutinitasnya di warung dan disambut heboh oleh Renjana saking rindunya.

"Mbak kenapa sih suka ngilang tanpa kabar? Ibuku sampek nanyain terus, lho, Mbak." adu Renjana.

"Kondisi Ibu sekarang gimana?" Arane malah mengabaikan pertanyaannya.

Renjana mengerucutkan bibir sebal, tapi tetap mengabarkan kondisi terkini sang ibu pascasakit.

"Ibu sehat dan berjualan seperti biasa, berkat kebaikanmu, Mbak."

"Semua kuasa Tuhan, Aku hanya media." tampik Arane membumi.

"Tetep aja makasih." tanpa malu-malu Renjana memeluk Arane dan itu disaksikan pasang mata yang sedang santap di warung.

"Duhh ... pengen deh dipeluk juga."

"Cosplay jadi mbaknya sabi kali, yak."

Suara-suara dari pengunjung warung menggaung, membuat Arane segera melepas pelukan manja si anak kuliahan yang tidak tahu tempat. Meski tidak ada perasaan apa-apa, tetap saja itu bikin malu. Arane tidak mau ada gosip aneh-aneh yang mempengaruhi kredibilitas warungnya.

"Gak usah peluk-peluk, Aku jijik!" cercanya cuma ditanggapi ringisan kuda oleh Renjana.

"Mbak anget, sih, jadi nyaman dipeluk."

Arane merotasikan bola netranya malas, "Fokus kerja kalo gak mau permintaan Masmu kukabulin."

"Ih, Mbak mainnya ngancem." Renjana merajuk, ia segera melenggang ke meja khusus meracik minuman.

"Gak adek gak mas sama aja!"

...

Pandega meratapi refleksi wajahnya di sebuah cermin. Lebamnya sudah menyamar, tapi ia tidak bisa melupakan detik-detik hantaman itu terjadi. 

Melapor? Martabatnya sebagai pria tulen harus ditaruh mana?

"Gendut sialan!" hanya cacian yang bisa dilakukan.

Dia memasukkan cermin itu kembali ke laci, menaruh fokusnya lagi pada layar laptop. Keberlangsungan galeri dan masa depan dompetnya jauh lebih urgensi untuk dipikirkan.

Omong-omong soal dompet ... apa kabar dompetnya beberapa bulan ke depan, ya?

Mengingatnya, Pandega mendadak sesak napas dan pening.

Uang kuliah Renjana, biaya les Dierja, kebutuhan bulanan rumah, sampai biaya pemeriksaan kesehatan berkala sang ibu kesemuanya membutuhkan duit.

Adakah di antara kalian yang bersedia menjadi donatur Pandega selama beberapa bulan? Sangat tidak mungkin.

Pandega membanting perangkat tikusnya kesal, menilik jam di gawainya lalu berdiri. Pukul sebelas siang, mungkin ia bisa menjernihkan pikiran sambil mengisi perut yang keroncongan.

"Aku makan siang di luar." pesannya pada seluruh pekerja yang sedang konsentrasi pada gawai masing-masing.

"Siap, Mas!" saut beberapa di antara mereka.

Sepiring nasi lengkap dengan sayur asam, sambal, dan perkedel jagung menjadi menu santap siang ramah kantong yang Pandega pilih. Ditemani segelas teh hangat manis sambil menatap padat jalanan ia terus merenung. Berpikir keras bagaimana mendapat sumber pendapatan lain.

"Wong ko ngene kok dibanding-bandingke

Saing-saingke, yo mesti kalah


Tak oyak'o, aku yo ora mampu


Mung sak kuatku mencintaimu

Ku berharap engkau mengerti, di hati ini

Hanya ada kamu..."

Seorang ibu-ibu berpakaian lusuh sambil di tangannya menggoyang-goyangkan alat musik yang terbuat dari tutup minuman dan bilah kayu, bernyanyi dengan suara sumbang. Tak berselang lama sang pemilik warteg tempat Pandega makan saat ini, keluar dan memberi sebuah uang logam.

"Selamat siang, Mas Ganteng... kuberharap engkau mengerti di hati ini hanya ada Kamu..."

Kini si pengamen beralih ke meja Pandega yang kebetulan ada di paling dekat luar.

Pandega menggerak-gerakkan tangannya ke depan, pertanda tidak memiliki uang receh.

"Masak ganteng-ganteng gak punya uang, sih, Mas. Penampilanmu udah kayak bos-bos muda di senetron, lho." ejek si pengamen.

Hei, yang susah bukan hanya kau saja! Pandega juga!

Pandega menebar pandang ke sekeliling, didapati beberapa pengunjung warteg mengacuhkannya.

Sial!

Mau tidak mau Pandega merogoh dompet di jaketnya. Mengeluarkan uang pecahan lima ribu dan mengasihkan pada si pengamen.

"Lancar terus rejekinya, ya, Mas ... dan semoga cepet ketemu sama si jodoh!" rapal si pengemis bungah bukan main kemudian melenggang ke tempat selanjutnya.

Jodoh matamu!

Menelungkupkan sendok dan garpu, ia lantas berdiri meninggalkan warteg. Hilang sudah selera makannya.

Terik menyengat tepat di ubun-ubun saat Pandega menyusuri trotoar menuju sebuah kampus tempat ia memarkirkan motor. Ia sedang mode penghematan, setidaknya parkir di sana hanya cukup menunjukkan STNK. Uang dua ribu sangat berarti sekarang.

Di tengah perjalanan langkahnya terhenti. Sepasang netranya mengarah pada sebuah bangunan warung yang ramai dipenuhi penyintas lapar.

Bukan pasal ramainya, melainkan sosok sang adik yang tampak sibuk melayani ke sana ke sini. Senyuman manis tak pernah luntur dari wajah sang adik ketika melayani para penyitas. Tampak begitu menikmati pekerjaan paruh waktu ditengah jadwal kuliahnya.

Keempat netra itu bertemu, membuat si adik menjeda layanannya. Dengan isyarat mata dan senyuman, Renjana seolah mengatakan bahwa Pandega tak perlu mengkhawatirkannya.

Percaya padaku, Mas...

Sampai Renjana disambungkan oleh bahasa kalbu yang hanya mereka pahami.

Kontak mata terputus sebab Renjana harus melayani para penyintas lapar. Kedua netra si sulung kini beralih pada meja kasir yang dihuni perempuan gendut yang sudah menonjoknya waktu itu.

Arane sama sekali belum menyadari eksistensi Pandega jika saja, Renjana tidak menyikut lengannya serta memberi kode untuk melihat ke depan. Dan, bertemulah netra mereka sekarang.

Senyuman miring tersungging di bibir Arane. Seakan-akan berkata, 'mana laporanmu?' kepada Pandega.

Aku berharap sesuatu terjadi pada tanganmu, gendut sialan!

Pandega segera memutus kontak mata, menghadap kiri lalu melanjutkan langkah. Entah kenapa semesta suka sekali berkonspirasi mempertemukan mereka.




Nanti disambung lagi...

UNDANGANPHOBIA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang