13

764 88 7
                                    

Ada yang tidak tenang di sana. Meski seseorang mengajaknya bicara, sesekali netra senjanya melirik ke sebuah arah. Seakan ada yang ditunggu kedatangannya.

"Ibu menunggu sesuatu?"

Megantari mengikuti arah yang diam-diam menjadi minat Larasati selama mengobrol dengannya.

"Tidak." saut Larasati tenang dan sedikit bersalah telah mengabaikan lawan bicaranya. Ia pun mengalihkan tema guna menutupi bahwa apa yang Megantari sampaikan sebagian tidak masuk ke ruang dengarnya.

Di balik pintu yang sempat menjadi fokus Larasati, terdapat Arane yang sempat mengintip isi bangsal. Sebenarnya ia hendak mengambil tas sekaligus berpamitan. Tapi melihat ada perempuan yang sempat ia lihat naik motor bersama Pandega dan sekarang ada di dalam sana, ia cegah.

Mengambil langkah lain, Arane memilih pergi tanpa mengganggu kehangatan orang lain. Toh, ia harus menyanggupi permintaan pria menyebalkan itu.

"Aku nepatin omonganku, dasar mahluk menyebalkan!" umpat Arane saat tak sengaja berpapasan dengan Pandega yang baru turun dari atap gedung.

"Enyahlah!" balas Pandega tak kalah kasar disertai decihan menghina.

Kaki Pandega kini tiba di depan bangsal sang ibu. Senyum merekah terbit kala netranya melihat kehadiran seseorang yang ia nanti ada di dalam mengobrol dengan Renjana.

"Mas gak ketemu Mbak Rane?" sambutan Renjana membuat kuping Pandega mendadak sakit.

"Sudah lama, Meg?" Pandega memilih abai, seolah pertanyaan Renjana tak pernah ada.

"Baru aja, Ga. Maaf, ya, baru bisa menjenguk Ibu sekarang." balas Megantari. Kini mereka menjadi bintang utama di ruangan itu.

"Bukan sebuah masalah."

...

"Sa, ada uang pecahan gak?" Arane mendatangi Disya yang baru saja selesai mengecek pasiennya.

"Buat apa?" jawabnya sambil lalu menuju ke sebuah ruangan.

"Pinjemin aja gak usah banyak nanya!"

"Minjem apa malak, galak amat!" semprot Disya merasa seperti penagih yang digalaki pengutang. Meski begitu, ia tetap mengelurkan dompet dari dalam tasnya.

"Ayah dinas ke luar, kan hari ini?"

"Situ kan anaknya, pasti lebih paham."

Selembar uang pecahan berwarna biru, dua lembaran hijau, dan selembar ungu kini berpindah alih. Arane menyikat uang yang masih di tangan sang sahabat sebelum resmi di berikan.

"Iya, tapi gak serumah. Btw, makasih. Entar minta aja ke Ayah gantinya."

"Oke, entar kumintain 50 juta!"

"Itu penipuan!"

Arane sontak kabur sehabis melayangkan jitakan ke kepala Disya.

"Dasar titisan titan!"

Sebuah bus berhenti menurunkan beberapa penumpang bertepatan dengan telapak kaki Arane yang menginjak pelataran. Seorang kernet bus itu berteriak-teriak mencari penumpang, menawarkan rute tujuan termasuk pada Arane yang berkontak mata dengan si kernet.

"Mau ke mana, Mbak?" tanya si kernet.

"Tujuan paling akhir ke mana?"

"Bungurasih, Kota Pahlawan."

Arane langsung mengangguk, ia memasuki bus ekonomi itu. Setelah mengambil duduk di dekat kaca jendela, Arane membuka aplikasi pesannya. Mengirim beberapa pesan ke tiga nomor penting yang berbeda kemudian menonaktifkan gawainya. Urusan warung sepenuhnya ia pasrahkan pada Mafrur.

UNDANGANPHOBIA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang