31

779 91 10
                                    

Semalam Delvin diminta ke apartemen si kakak sepupu semata-mata untuk menonton Arane yang mengalem layaknya anak kecil. Minta ini, minta itu, tidak cocok, dan berakhir menangis. Jiwa titisan titannya lenyap entah ke mana.

Pertanyaan seperti, "Kamu kenapa, sih, Kak?" yang Delvin lontarkan tiap kali Arane berubah sensitif senantiasa ditimpali dengan kata, "Gapapa". Tentu hal ini bikin pusing sang sepupu. Hingga Arane capai lalu tidur dengan sendirinya, barulah Delvin bernapas plong. Ia bisa pulang setelah memastikan Arane benar-benar lelap.

Ketika malam pun jatuh berganti pagi, Arane meminta Delvin menjemput dan mengantarnya yang ingin mampir ke warung barang sebentar. Melihat sang kakak sepupu yang masih menyisakan jejak tangis semalam, Delvin reflek memeluk Arane begitu mereka bertemu di depan gedung apartemen. Sama sekali Delvin tidak sadar ada empu sepasang netra yang mengawasi mereka. Saat sadar dan ingin merenggangkan pelukan, Arane merapatkan diri dan menyamankan kepalanya di ceruk si adik sepupu. Siapapun yang melihat pasti akan berasumsi mereka sepasang kekasih, sama seperti yang dilakukan sang empu sepasang netra tak jauh dari mereka.

"Abaikan apa yang Kamu lihat, Kakak mohon ...." bisik Arane manakala bibir Delvin terbuka ingin bersuara.

Mengatupkan kembali bibirnya, kini tangan Delvin merengkuh tubuh gemuk sang kakak sepupu sambil mengelus sayang belakang kepalanya. Kecupan di pucuk kepala dibubuhi sebagai pelengkap sandiwara. Entahlah apa yang terjadi antara Arane dan pria sang empu sepasang netra, ia hanya menuruti alur yang dibuat si kakak sepupu.

"Ayo, jalanan akan semakin macet nanti." ajak Delvin mengurai peluk, kemudian membawa Arane masuk ke mobilnya. Perjalanan dimulai dan sandiwara dadakan penuh improvisasi itu tamat. Delvin mengurai napas begitu mengakhiri perannya.

"Itu pacar Kakak?"

Delvin buka suara, sesekali melirik kaca spion yang memantulkan sosok Pandega di depan apartemen sang kakak sepupu.

"Bukan, cuma teman." aku Arane membuat si sepupu yang sedang menyetir lantas mendecih.

"Cuma teman tapi ditangisin terus dari kemarin."

Yeah, sindiran itu tepat sasaran. Arane memang menangisi pria pengecut yang kemarin memberinya sesuatu pas saat ia memang butuh. Gara-gara hal itu Arane dengan jiwa titisan titannya harus berpisah dan Delvin yang terkena pulutnya.

Dua bola mata Arane berkilau laksana kaca, ia alihkan dari kaca spion menatap arah lain agar kilauan itu tidak berubah jadi kabut basah. Ia merindukan si pria menyebalkan nan pengecut itu sekaligus membencinya. Kala dia sedang membulatkan tekad meneruskan studi, Pandega baru tampak bergerak berjuang.

As you sekali bukan?

"Bantuin Kakak biar gak nangis lagi kalo gitu."

"Mau dibantuin kayak apa? Nonjok pria yang bikin kakak nangis atau apa?" kalimat yang agak sadis namun disampaikan dengan nada kalem oleh Delvin, sembari menoleh ke hadap si peminta bantuan.

Arane menggeleng pelan, "Cukup temani Kakak sebelum berangkat ke LN."

"Gak gratis, lho, ya." canda Delvin berniat menghibur, dan berhasil. Arane menyaut dengan bersungut-sungut.

"Kamu ini sama kakak sendiri perhitungan!" begitu sembur Arane malah buat Delvin tertawa.

Arane tertular tawa sang adik sepupu, suasana hatinya berhasil dipulihkan oleh candaan sederhana tersebut.

"Gak usah ngaku kita sepupuan, ya, kalo orang warung tanya." permintaan lain Arane.

"Asal bayarannya setimpal."

"Beres!"

...

Pandangan Pandega terus mengikuti ke mana mobil yang membawa Arane menjauh darinya. Bahkan saat mobil itu telah lenyap dari tangkapan netranya, ia belum beranjak. Sampai pada sebuah kesimpulan bahwa mereka benar-benar usai, barulah ia beranjak. Meninggalkan tempat itu sekaligus impian bersama puan hatinya.

UNDANGANPHOBIA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang