Langkahnya terantuk-antuk memasuki galeri yang ia biarkan gelap dengan satu sumber cahaya dari lampu teras. Mendorong pintu bilik pribadi, Pandega segera menjatuhkan bokong ke takhta depan komputernya.
Mengambil udara sejenak, Pandega lantas mengeluarkan laptop dari tas kemudian mengajak mata kantuknya berfokus ke layar tersebut. Sesekali ia menguap, menampar-nampar pipi agar terjaga kembali. Semenit dua menit hingga waktu bergulir menunjukkan pukul 10 malam atau 2 jam setelah ia tiba.
Astaga!
Setitik noda merah mendera meja, ia segera meraba hidung dan ternyata bersumber dari sana.
Pandega mendongak, menadahkan jemari ke bawah hidung sembari mencari-cari selampai. Menemui kenihilan, ia bergerak keluar. Mungkin ada di ruang lain, dan benar saja benda yang dicarinya ada di meja tempat biasa tim desainer bekerja.
Pandega duduk tegak, memencet hidung yang telah ia sumpal dengan gulungan selampai bertahan hingga 10 menit lebih kurang. Merasa baikkan, ia mendorong punggungnya ke sofa. Deru napas menemani keheningan, membawa katuk yang sejak lalu ia tahan datang menyerang tak terelakkan. Kedua kelopak itu terbenam disusul dengkuran halus.
Terlelap pulas tanpa menyadari ada pasang mata yang mengawasi dari balik pintu kaca galeri.
...
Sepeda motor yang terparkir di pelataran sempit Sabitah Wedding Art membenarkan dugaan Arane. Pandega kembali ke galeri begitu para pegawainya pulang, seperti yang Nasyita beberkan di perbincangan sore tadi. Obsidian netranya bergerak, mengikuti sosok di tengah penerangan minim yang keluar dari sebuah ruangan sambil memegangi area wajah.
Seperempat jam bergulir, Arane lantas mendorong pintu di depannya. Menimbulkan bunyi gemerincing dari bagian atas pintu yang sukses membangkitkan lelap sosok itu.
"Siapa di sana?!" sosok itu sontak bangkit terjaga, memelekkan mata kantuknya waspada.
"Aku," Arane pun bersuara.
Sosok yang sudah memasang kuda-kuda dan siap melakukan perlawanan kalau-kalau ada penjahat, lantas mendesah lega. Saking dulu membenci Arane ia sampai hafal dengan suara si perempuan.
Lampu berpijar, memperjelas sumbatan di hidung Pandega yang bisa Arane simpulkan sebagai epistaksis (mimisan).
"Kamu terlalu bekerja keras sampai tubuhmu protes." lontar Arane miris.
"Hanya mimisan." balas Pandega seraya membuang sumbatan di hidungnya ke tempat sampah. Ia mengarahkan Arane untuk menduduki sofa.
"Iya, belum pingsan." ejek Arane telak.
Pandega mengulum senyum, ia menyusul Arane duduk.
"Apa yang membawamu ke sini malam-malam begini?"
"Kalo Kamu gak kayak pejabat DPR, Aku mungkin gak perlu ke sini."
"Ada yang ingin Kamu bicarakan?"
Arane menelengkan kepala, mengerutkan keningnya menatap Pandega.
"Harus, ya, ada yang dibicarakan kalo mau ketemu? Gak sekalian bikin protokoler biar Kamu makin mirip pejabat?"
Pandega menggoyangkan kepala ke kanan dan kiri, "Maaf, pasti karena Saya susah dihubungi." sesalnya.
"Aku seneng Kamu nyadar." Arane kini menghadap depan, membiarkan keheningan menyusupi jeda.
"Ini apa?" Dega menunjuk kantung kertas yang Arane bawa sebagai pemusnah keheningan.
"Logistik perut." singkatnya sambil mengeluarkan isi kantung kertas tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNDANGANPHOBIA [TAMAT]
RomanceKesal lantaran sang anak selalu mengacaukan rencana perjodohan yang ia siapkan, Reny nekat membuat undangan atas nama Arane sang anak. Bermula dari sana, semesta mempertemukan Arane dengan Pandega yang amat sangat membenci orang seperti Arane karena...