12

814 95 12
                                    

Tangan itu seketika mengambang di atas gagang pintu. Si empu tampak ragu untuk masuk, merasakan kehangatan yang terbangun di dalam. Ia memilih diam, memperhatikan bagaimana wajah sang ibu berseri melihat perdebatan kecil di hadapannya.

"Aku kan udah bilang ketemuan di dekat eskalator!"

"Mana ada, Mbak Rane gak bilang, ya!"

"Kamu buru-buru ke toilet, jelas aja gak denger."

"Seenggaknya ngabarin Aku kan bisa, gak mesti ninggalin Aku gitu aja."

"Salah sendiri lama!"

Lamat-lamat perdebatan itu sampai ke kuping si empu, entah bagaimana berisiknya di dalam. Ia hanya mampu bertumpu di muka pintu dengan berbagai perasaan berkecamuk.

Pandega, si empu tangan bergeser ke sisi pintu. Bersedekap sambil menyenderkan punggung ke dinding kala salah satu perempuan di dalam mendadak berjalan ke arah pintu. Dari gelagat yang sempat ia tangkap, sepertinya sedang menerima panggilan telepon.

"Kenapa, Ma?" saut perempuan gendut yang belakang mencari masalah dengannya. Perempuan tersebut sama sekali tidak menyadari eksistensi Pandega.

"Anakmu ini terlalu sibuk kalo sekedar buat ngomongin perjodohan."

Cukup! Pandega merasa akan ketiban masalah jika kupingnya terus dicemari percakapan si perempuan gendut dengan sang ibu di seberang sana. Ia pun memutuskan untuk menjauh.

...


"Kamu di mana? Mama mau makan malam sama Kamu." sampai Reny dari kejauhan sana.

Arane memijat pangkal hidung seraya menderu napas kasar. Ia jelas tahu itu sebuah kode dan sinyal akan adanya rencana-rencana sang mama.

"Anakmu ini terlalu sibuk kalo sekedar buat ngomongin perjodohan."

"Hanya makan malam dengan anak bungsu Mama, memang gak bisa?" terus Reny yang menurut hemat Arane lebih kepada sebuah kilahan.

"Makan malam itu cuma dalih, Aku tau itu, Ma." bukan Arane jika tak menghafal tabiat sang mama.

"Terserah Kamulah, pokoknya besok kita makan malam di resto biasanya. Awas aja gak datang!" Reny tak kapok mengancam anaknya meski tau bagaimana kelakuan sang anak.

"Terserah Mama!" tutup Arane apatis.

Selesai mengakhiri telepon ia berbalik akan masuk bangsal. Namun, eksistensi Pandega yang entah sejak kapan ada di sana membuat indra penglihatannya membelalak. Pria menyebalkan itu tampak tenang berdiri menempelkan punggung di ujung dinding bangsal.

Arane mendadak gugup. Mau mengacuhkan tapi masih gengsi, mau mengabaikan tapi si pria tepat di depan mata.

"Kita harus bicara!" sergap Pandega tegas saat Arane akan memilih masuk tanpa mengacuhkan keberadaan Pandega.

Mau tak mau Arane mengamini instruksi si pria menyebalkan. Mengambil langkah di belakang mengikuti ke mana kaki di depan membawanya. Dan atap gedung yang menjadi tujuan akhirnya.

"Saya tidak suka dengan keberadaanmu di dekat keluarga Saya." lontar Pandega lugas. Ia berdiri di dekat pagar pembatas memunggungi Arane yang tertaut dua meter darinya.

"Apa yang membuatmu tidak suka?" balas Arane berani. Ia tak suka berlarut-larut membenci seseorang hanya karena tidak mengenali.

Pandega berbalik badan, mengatakan langsung pada si lawan bicara. "Semuanya darimu."

Arane dapat melihat tatapan tak suka dari Pandega dengan berhadapan langsung seperti ini.

"Terus, Kamu mau apa?"

UNDANGANPHOBIA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang