14

798 94 11
                                    


Pandega terkurung di bilik ketika surya telah tenggelam beberapa saat yang lalu. Berulang kali ia memijat kedua sisi kening. Mengusap kasar wajahnya yang kusam dan berminyak jejak aktivitas seharian.

Uang 30 juta telah masuk rekening, namun permasalahan baru kini timbul. Ke mana ia harus menyalurkan sejumlah uang yang tergolong besar tersebut?

Di tangannya saat ini hanya ada bukti pelunasan biaya rumah sakit, serta nomor telepon Arane yang tidak sanggup Pandega hubungi.

Kacau!

Menanyai Renjana? Pandega jelas tidak mau merontokkan harga dirinya di depan sang adik yang telah membela perempuan gendut itu.

Sebuah ide terbesit!

Pandega mendorong mundur kursinya, berjalan tergesa menuju meja kerja sang admin. Tak seorang pun tersisa selain ia sendiri. Sambil menilik kanan kiri memastikan tak ada pasang mata yang menyaksikan, Pandega beraksi.

Dia menyalakan komputer, menunggu beberapa saat, kemudian mengeklik-ngeklik perangkat keras mirip hewan pengerat, dan terpampanglah lembar kerja sebuah program perangkat lunak lembar bentang terkemuka. Pada lembar bentang itu Pandega dapat menemukan jalan keluar yang mungkin bisa sedikit menyelamatkan harga dirinya.

Yeah, tidak salah. Di lembar bentang itulah data-data informasi para klien tercatat dan tersimpan rapi. Termasuk, Reny Kusumabuana.

Pandega mengambil secarik kertas beserta pulpen yang ada di meja. Menyalin informasi dari lembar bentang itu secepat mungkin. Setelah selesai segera ia tutup lembar bentang tersebut dan mematikan komputer.

Pandega menghela napas lega. Ia meninggalkan ruang tamu sembari mengusap jejak bulir peluh di kening. Entahlah, ia merasa seperti melakukan tindakan melanggar hukum.

"Aku harus ngomong apa ke ortunya?"

Pandega membasuh wajahnya dengan kasar seraya mengempaskan diri ke sofa. Matanya memejam, mengistirahatkan pikiran barang sekejap meski itu sulit. Hingga tak dirasa ia terlelap dengan sendirinya.

...

Larasati terjaga dari tidur pulasnya. Mengayun turun dari ranjang, berjalan keluar kamar. Jam dinding yang terpasang di ruang depan menunjukkan pukul 9:30 malam. Dilihatnya motor sang putra sulung belum terparkir di rumah.

Di mana Dega? Hati kecilnya bertanya-tanya, sebab sang anak sangat jarang pulang selarut ini.

Tak berselang ia membatin, terdengar deru mesin motor yang berhenti di depan rumah disusul suara derit gerbang dibuka. Dengan segera Larasati bergegas membuka pintu.

"Kamu baru pulang, Nak?" sambutnya.

Pandega memasukkan motor dan memarkirnya bersebelahan dengan milik Renjana.

"Aku ketiduran di galeri, Bu." lapor Pandega seraya mengambil tangan Larasati dan menciumnya.

Si ibu mengangguk, "Ibu panaskan lagi airnya." ujarnya akan beranjak namun dicegah.

"Ibu istirahat saja, Dega bisa melakukannya sendiri."

Tak ada yang bisa dilakukan Larasati selain memberikan anggukan dan tepukan di lengan sang anak.

"Aku akan menemui perempuan itu untuk meminta maaf dan berterima kasih."

Seketika kaki yang akan mengayun menuju kamar itu terhenti. Larasati memutar haluan, menghadap sang anak kembali.

"Maksudmu Arane?"

Mengganti tagihan lebih tepatnya, sang anak mengonfirmasi dengan anggukan.

Seuntai senyum tersimpul pada wajah yang mulai mengeriput dikikis usia milik Larasati.

UNDANGANPHOBIA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang