25

710 92 14
                                    

"Kamu kenapa?" suara Arane terdengar lembut.

Sejak menerima panggilan sang adik, Pandega terus diam tanpa sepatah kata pun terucap. Kentara sekali ada masalah serius yang terjadi dengan keluarganya. Sampai Arane perlu waktu untuk bertanya.

Pandega masih geming, sampai tak lama Arane mendapat pesan dari Renjana.

Mbak, tolong bujuk Mas Dega pulang. Keluarga kami ada yang kritis dan menunggu Mas Dega.

Setelah membaca pesan itu, Arane jadi punya gambaran isi kepala Pandega saat ini. Mengumpulkan nyali, Arane coba buka suara lagi.

"Renjana minta Kamu pulang." utara Arane sambil menunjukkan isi pesan Renjana.

Pandega yang semula sempat melupakan eksistensi Arane kini tersadar.

"Kamu tahu apa masalahnya?"

Arane mengangguk serius, bahkan ramainya tempat makan tak mempengaruhi.

"Saya tidak bisa."

"Kenapa?" saut Arane lekas.

"Kamu tidak tahu apa yang Saya rasakan."

"Terus, Kamu bakal diem aja dan ngebiarin orang itu dalam penyesalan sampai akhir hayatnya?" serangan yang menohok.

"Cukup, Kamu tidak tahu apa-apa."

Atmosfer di sana makin panas, Arane mulai mendidih dan ingin mencecar Pandega dengan mulut pedasnya.

"Yeah, Aku bodoh soal itu." Arane bersedekap, jiwa titisan titannya mulai keluar.

"Tapi kamu lebih bodoh karna terus ngebiarin kentang busuk ada di hatimu."

Pandega melotot tak terima, jelas ia sangat tersinggung.

"Jangan buat Saya marah, Arane." tekannya masih coba bersabar.

"Kamu yang mancing Aku, Pandega." pantang mengalah bagi Arane.

"Stop!" pelan tapi sarat penekanan.

Arane mendengus pendek, "Dengar, bukan Aku sok bijak atau paling tau perasaanmu. Tapi ingat satu hal, Dega." sengaja memberi jeda, netranya mengarah dalam pada si pria yang susah mendengar masukan orang lain.

"Kita juga akan berpotensi ngebuat orang terluka. Entah kapan itu, posisi itu bakal kita tempati."

Meski omongan Arane tak sehalus tutur Larasati, tapi entah mengapa kalimat itu cepat tercerna di benak Pandega.

"Ini sangat berat bagi Saya." aku si pria pada akhirnya.

"Gak ada yang bilang belajar melupakan dan memaafkan itu gampang. Semua butuh proses dan waktu," seperti yang lagi Aku lakuin.

Tutur Arane kembali melunak, begitupun cara pandangnya. Sementara Pandega tampak mengusap kasar wajahnya frustrasi.

"Kalo Kamu butuh pegangan atau kekuatan, ingatlah Aku ini titisan titan. Aku siap ada di sampingmu." deklarasi si puan percaya diri.

Agak menggelikan tapi sukses menyentuh Pandega. Senyum tipis-tipis terbit di bibir si pria.

"Aku gak minta detik ini Kamu musnahin rasa sakit itu. Tapi tolong, biarkan orang itu pergi dengan tenang. Kamu bisa belajar pelan-pelan setelahnya."

Genggaman tangan Arane mampu melunakkan karang di hati Pandega dan membuat si pria yakin.

"Kamu mau temani Saya?"

Dengan senyum lima jari, Arane mengiyakan.

...

"Bagaimana, Masmu sudah ada kabar?" Larasati kembali menanyai sang putra kedua yang dimintanya menghubungi si sulung.

UNDANGANPHOBIA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang