19 SPESIAL HARI PAHLAWAN

705 95 88
                                    

Renjana baru tiba di rumah, ia langsung rusuh memanggil-manggil Larasati ingin menyampaikan kabar bahwa Arane mengalami kecelakaan. Anak kuliahan itu mendapat informasi dari si bersangkutan yang datang ke warung dan menghebohkan para rekannya.

"Kecelakaan bagaimana?" Larasati yang sedang istirahat di kamarnya segera keluar, menemui si anak yang hebohnya seperti kebakaran jenggot.

"Mbak Rane diserempet motor pas nyelametin anak kecil yang nyebrang tanpa pengawasan, Bu. Sininya robek dan tulangnya ada yang retak." cerita Renjana sambil menunjuk sisi mana Arane terluka. Berbarengan dengan ceritanya, terdengar deru mesin motor disertai deritan gerbang yang diyakini bahwa si sulung pulang.

Tanpa diperintah Renjana memperlebar jalan Pandega masuk.

"Arane kecelakaan, Kamu sudah dengar, Dega?" tanya Larasati begitu si sulung menarik tangan dan menciumnya.

Mengedikkan bahu, Pandega memilih tutup mulut soal keterlibatannya kemarin. Ia merehatkan bokong bersama ibu dan sang adik.

"Ibu ingin menjenguknya, bisa tolong antarkan Ibu?" ucap Larasati berikutnya.

"Renjana saja, Aku bisa bagikan alamatnya." melempar tugas pada sang kedua.

"Kamu yang harusnya nganter Ibu, Mas. Aku sudah lihat kondisinya, kan Mas Dega yang belum." bantah Renjana.

"Aku tidak punya hubungan dengannya, untuk apa ke sana." begitu dalih si sulung.

"Iya, tapi, kan-"

"Aku mau ikut, Bu..." tiba-tiba si bungsu turun dari kamarnya dan menyaut.

Tiga kepala kompak meneleng ke arah Dierja.

"Tuh, Dierja aja pingin ikut, loh, Mas. Gak mungkin, kan, Aku bonceng tiga. Bagusnya, Mas sama Ibu, Aku sama Dierja." Renjana jadi punya amunisi untuk mengskakmat si sulung. Dia tahu sang kakak sangat ingin menghindari Arane apapun bentuknya.

"Kita tidak sedang temu keluarga." Pandega masih punya saja bahan untuk alasan.

"Astaga, kita kan hanya mau jenguk Mbak Rane, Mas! Dia kan sudah menolong dan menjenguk ibu waktu sakit. Apa salahnya, sih, sekarang kita jenguk ganti?" Renjana mengomplain habis sang kakak.

"Aku tidak suka balas budi." singkat Pandega dengan sikap acuh tak acuh.

Renjana mendengus, ia tidak mengerti mengapa Pandega seantipati itu dengan Arane. Padahal, kan, Arane baik dan cocok jadi pendamping sang kakak.

"Dega, kali ini Ibu memaksa. Besok malam kita ke sana, tolong sampaikan itu pada Arane." final Larasati absolut.

Pandega mendesah, ia bangkit menuju kamarnya tanpa bicara sepatah pun. Dia jatuhkan tubuh ke ranjang, menekuk tangan di bawah kepala sambil melihat langit kamar.

Ketika makan siang tadi Pandega sudah bertanya pada Megantari perihal kata-kata Arane dengan selubung 'misalnya'. Dan, premis yang bisa ia tangkap adalah bahwa si perempuan gendut itu memiliki kecondongan padanya.

Napas itu terurai berat, Pandega tidak paham akan perasaannya sendiri. Namun, secara impulsif menyatakan ketertarikan pada Arane.

Haruskah kutarik lagi pernyataanku? Aku tidak menyukainya, tapi mempermainkan perasaan orang bukanlah diriku.

...


"Kamu gak tertarik sama cowok yang waktu itu ke rumah?" lontaran pertanyaan itu keluar dari mulut si perempuan yang lebih tua setahun dari sang adik.

Nismara dan Arane, mereka sedang rebahan di kasur Arane usai Nismara menidurkan anaknya.

"Siapa?" Arane berlagak tak tahu, mengubur rasa salah tingkahnya.

UNDANGANPHOBIA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang