09 Spesial Ikon Anniversary

734 90 6
                                    

Mas, ibu pingsan dan dibawa ke rumah sakit.



Pandega memacu kencang kuda berodanya menembus hujan yang masih setia mengguyur. Ia terpaksa meninggalkan Megantari beserta kedua anaknya dan meminta mereka pulang menaiki taksi.

Melalui nomor tak dikenal Renjana mengabari bahwa kini sang ibu sudah mendapat perawatan. Pandega sedikit bisa bernapas lega mendapat kabar tersebut. Namun, mengingat sang adik bungsu sendirian dengan kondisi rumah terbuka menambah beban di pundaknya.

Setelah menumpuh 10 menit perjalanan, Pandega tiba di rumah. Dierja tampak menunggu di depan pintu dengan raut ketakutan.

"Mas!" pekik Dierja lega melihat kehadiran sang kakak sulung.

Memarkir motor kemudian turun, Pandega lantas menghampiri sang adik yang langsung memeluk tubuhnya.

"Ibu sama Mas Renja ke mana? Kenapa rumah tiba-tiba kosong? Padahal tadi ada tamu." adunya manja.

"Tamu?" Pandega melonggarkan pelukan sang bungsu.

"Iya, Dierja dengar bosnya Mas Renja." beber Dierja mengusung raut kaget di wajah Pandega.

"Bosnya? Sejak kapan Renja kerja? Mas Dega tidak tau apa pun soal itu."

Dierja menggeleng lugu, ia sama sekali tidak mengetahui kegiatan apa yang Renjana lakukan di luaran sana.

Pandega membuang napas panjang, mengesampingkan sejenak perihal Renjana. Ia pun memberitahukan sang adik bahwa ibu mereka dibawa ke rumah sakit dan karena hal itu kondisi rumah jadi kosong tak tertutup.

"Ibu pingsan kenapa?" Dierja terlonjak kaget.

"Mas belum tau, abis ini kita susul ke rumah sakit." jawab Pandega sambil mengelus kepala si adik.

"Tapi, bagaimana bisa Kamu tidak tau Ibu pingsan padahal Kamu ada di rumah?" air muka Pandega terpantau berubah drastis. Membuat sang adik yang tadi menempelinya kini menjaga jarak.

Menyadari bahwa ia salah, Dierja kontan menundukkan kepala sambil mengepal kedua tangan di samping badan.

"A-aku ... main game pake headphone." akunya sangat takut.

Mendadak Pandega seakan mendapat serangan tak kasat mata di bagian dada. Ia menahan napas lama sebelum mengembuskannya kasar. Memejamkan mata sembari mencoba menetralisir gemuruh di dada.

"Game lagi?" terdengar ada penekanan kuat di sana.

Dierja semakin merunduk dalam, ia sama sekali tak berani menatap mata sang kakak yang mungkin sedang melotot tajam.

Desahan kasar terdengar dari mulut Pandega, pria tersebut memijat kening tak habis pikir dengan kelakuan sang adik bungsu.

"Mas sudah bilang berapa kali, hah? Kamu boleh main HP, tapi semua ada ukurannya, Dierja!" amarah Pandega tak dapat terbendung, ia meluapkan segala kegundahan di hatinya pada sang adik.

"Kalo Hp cuman buat Kamu gak acuh dengan sekitar, Mas akan jual Hp-mu." ancam Pandega setelah itu pergi ke kamarnya.

"Maafin Dierja, Mas..."

...

"Bagaimana keadaan Ibu Saya, Dok?" Renjana menemui dokter yang menangani Larasati begitu tiba di UGD.

"Pasien sering lupa makan, ya?" alih-alih menjawab, sang dokter malah memberi pertanyaan.

"Iya, dok. Saya sudah mengingatkan Ibu, tapi beliau selalu bilang tidak lapar atau kelupaan." terang Renjana jujur. Di antara ketiga saudaranya, memang ia yang paling cerewet menyangkut kesehatan sang ibu.

UNDANGANPHOBIA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang