11

814 88 8
                                    

"Berapa lama Kamu kerja tanpa ngasih tau Mas?" Pandega mengintrogasi Renjana setelah waktunya pas.

"Awal semester 2, Mas." aku Renjana takut-takut.

"Mas gak mau tau, Kamu harus berhenti kerja dan fokus kuliah."

"Aku gak bisa." sambar Renjana cepat pada putusan Pandega.

"Jangan bikin Mas marah, Renja." tekan Pandega. Sorot matanya masih terpancar tajam ke arah Renjana yang berdiri satu meter darinya.

"Aku janji akan kuliah sungguh-sungguh, tapi Aku gak bisa kalo harus berhenti kerja." sanggah Renjana tidak mundur begitu saja.

"Sudah waktunya Aku berhenti jadi beban pundak dan pikiranmu, Mas." imbuhnya namun sepertinya tidak membuahkan hasil, karena Pandega tetap pada keteguhannya.

"Berhenti jadi keluarga kalau begitu." balas Pandega skakmat.

"Mas..." terdengar permohonan yang amat dari Renjana.

"Mas akan buat Kamu berhenti dengan sendirinya." keputusan bulat Pandega yang tidak bisa ditentang lagi. Pria dewasa itu berlalu tanpa mengacuhkan Renjana yang memanggilinya.

Aku hanya ingin Kamu mikirin kebahagiaanmu sendiri, Mas...

...

Selepas semua staf yang berada di bawah naungannya pulang, Puguh benar-benar membesuk Larasati. Ia mampir sebentar sekedar mengenalkan diri sebagai ayah Arane dan hanya sebatas pegawai rumah sakit yang tidak langsung berhubungan dengan pasien. Mengobrol barang kali lima belas menit kemudian pamit pulang. Puguh bersyukur sang anak sangat baik dalam bermasyarakat seperti apa yang ia harapkan.

Keesokan harinya Arane datang menjenguk lagi. Dia memasrahkan warung pada Mafrur dan berjanji akan kembali sebelum puncak makan siang.

"Pasti lelah ya, Bu, di rumah cewek sendiri. Kalo cowok biasanya di rumah cuma tau beres aja, ya, kan?" ujar Arane sambil mengupas buah hasil pemberian ayahnya semalam.

"Benar. Mereka memang begitu perhatian sama Saya, tapi tetap agak beda jika punya anak perempuan di rumah. Ada hal-hal tertentu yang hanya bisa diobrolin bareng anak perempuan." tanggapan Larasati tak menampik pernyataan Arane.

"Setuju banget, Bu. Tapi kalo kayak Mama Saya yang anaknya cewek semua, kadang masih suka ngeluh karena anak-anaknya tengkar terus pas kumpul. Berisik semua kecuali ayah saya." Arane memberikan potongan apel hasil kupasannya pada Larasati.

"Oh, ya? Pasti rame sekali di rumahmu." Larasati begitu tertarik dengan omongan Arane.

"Banget, Bu. Kalo di rumah Ibu sendiri?" Arane menanyai balik lawan bicaranya.

"Mungkin jika Renja tidak di rumah, tidak akan ada yang berisik meributkan sesuatu. Dierja dan Dega tipe anak yang cenderung pendiam. Sampai kadang Renja ingin sekali punya saudara perempuan yang bisa diajak ribut bersama." balas Larasati membuka diri.

"Oh, pantas saja Renjana suka sekali nyari ribut sama Saya dan suka sekali ngekorin Saya ke mana-mana." lapor Arane yang kadang suka bingung sendiri dengan kelakuan si aset berharga.

"Dia memang ingin sekali punya kakak perempuan seperti Kamu, sampai-sampai Kamu selalu menjadi topik curhatannya." sebuah fakta yang mengejutkan Larasati ungkap.

"Ah, yang benar, Bu?" terdengar nada meragukan dari Arane. Bukan apa-apa, ia hanya tidak mau melambung ke langit lalu diempas seketika oleh kenyataan.

"Benar, kadang ia berharap Kamu bisa berjodoh dengan anak sulung Saya, Pandega."

Uhuk!

Arane tersedak ludahnya sendiri, lalu tertawa sumbang dengan pernyataan terakhir ini.

BERJODOH? ITU TIDAK MUNGKIN!

UNDANGANPHOBIA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang