"Mbak, ayo, kencan!"
Ajakan lebih serupa dengan titah itu membawa Arane dan sang pengajak Renjana kini menapak di sebuah pusat perbelanjaan. Tidak banyak yang mereka lakukan, hanya makan sambil berbincang panjang lalu ditutup dengan berbelanja.
"Ibuku mau ultah, Mbak." ujar Renjana menjadi alasan utama mereka kini ada di lantai lain dari tempat makan tadi.
"Aku mau ngado juga kalo gitu." antusias Arane mendengar Renjana yang ingin mencarikan kado untuk sang ibu.
Setelah satu putaran penuh mengelilingi lantai tiga, pilihan mereka jatuh pada outlet retail peralatan rumah dan aksesoris yang berbasis di negara tetangga. Memasuki outlet ini membawa Arane pada memori pertemuan sengit dengan sang pria pengecut.
As You! Arane benci kinerja sistem otaknya, lancang mengingatkan ia pada pria yang akan ia ganti dengan pria lain bermata biru.
"Mbak, Aku ke toilet dulu, ya? Buang air kecil."
Déjà vu.
Arane benar-benar merasa seperti mengulang hari serupa ketika ia dan sang pria pengecut merebutkan sebuah barang. Tidak bisa! Dia tidak boleh membiarkan perasaannya turut larut oleh ingatan kurang ajar ini. Lebih baik mengalihkan fokusnya pada barang-barang yang ingin ia cari, sembari memantrai jantungnya agar kembali berdetak senormal mungkin.
Menyusur semakin dalam, obsidian Arane berkilat melihat deretan peralatan memasak. Ia menitikan kakinya menyusuri set pisau berbagai ukuran dan ketika tangannya terulur hendak meraih salah satunya, tangan lain mengarah pada barang yang sama.
"Maaf, Saya-"
...
Semula Pandega tidak terpikirkan ingin memberi kado untuk sang ibu yang akan berulang tahun lima hari lagi. Akan tetapi, si bungsu Dierja mengusulkan sesekali memberi kado pada sang ibu sebagai ungkapan terima kasih dihari lahirnya yang bahkan sering dilupakan oleh si ibu sendiri. Ia pun menerima usulan si bungsu tanpa pikir lama.
"Kamu mau ke sana?" Pandega mengarahkan sorot matanya pada area bermain di gedung mal ini, setelah mengamati atensi si bungsu yang terus terpaku ke sana. Memang tidak meminta, tapi dari caranya menatap Pandega paham.
Kepala tertunduk Dierja bergerak ke kanan dan kiri, "Kamu boleh ke sana." izin sang kakak sulung seketika membuat kepalanya terangkat.
"Telpon Mas kalo sudah selesai." amanat Pandega sambil memberi sejumlah uang dan kartu khusus berlangganan di area bermain tersebut.
Penuh kebahagiaan Dierja berlalu menuju zona kesukaannya.
Pandega memandu kakinya ke sebuah toko peralatan rumah tangga dan aksesoris, berbekal rekomendasi dari sebuah mesin telusur daring. Berpikir sejenak, lalu ia putuskan untuk menuju rak khusus benda tajam. Si sulung itu teringat dengan pisau sang ibu yang pernah ia patahkan gagangnya, lantaran dipaksakan untuk memotong ubi yang besar.
Set pisau berbagai ukuran dengan model kekinian menarik minat Pandega. Tangan kirinya menjulur akan meraih benda tersebut, tetapi diwaktu yang sama tangan lain juga mengarah ke sana.
"Maaf, Saya-"
Pandega dan sang empu tangan tersebut saling temu pandang, terperanjat satu sama lain. Manik jelaga mereka terpatri dalam sekian sekon, sebelum Pandega cabut dulu dan ia alihkan. Putra sulung Larasati itu tidak sanggup terus berkontak mata sedang kerinduan membuncah di dada. Janji tetaplah janji, tetap harus ia tepati.
Khawatir akan melanggar janji, Pandega putuskan balik badan menjelajah rak lain. Namun selangkah ia ambil, lengan jaket yang ia kenakan terasa ada yang mencekal. Tanpa berbalik pun bisa ditebak siapa sang pelaku, meski begitu ia hanya geming.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNDANGANPHOBIA [TAMAT]
RomanceKesal lantaran sang anak selalu mengacaukan rencana perjodohan yang ia siapkan, Reny nekat membuat undangan atas nama Arane sang anak. Bermula dari sana, semesta mempertemukan Arane dengan Pandega yang amat sangat membenci orang seperti Arane karena...