03

1K 88 5
                                    

"Yang ini gak usah!" Arane membuang satu undangan pernikahan dengan tanggal terdekat dan pempelai yang tidak begitu ia kenal dekat.

"Ananta?" tampak menimbang nama pempelai pria yang dulu menjadi partnernya dalam urusan sontek-menyontek.

"Tapi udah lama gak ketemu, pasti canggung!" tanpa ragu Arane membuang undangan berwarna coral itu.

Masih tersisa 2 dari 6 undangan yang belum ia pilah. Sedangkan undangan dari sang sahabat Endra, tentu tidak masuk dalam pemilahan. Bisa diteror jika sampai ia tidak hadir di pernikahan sahabat yang sebentar lagi meninggalkan status lajangnya.

Bola mata Arane bergulir, melihat jam dinding di atas pintu kamar.

"Astaga... batrenya lupa kuganti!" ia menepuk kening.

Jam dinding bergambar tokoh kartun favoritnya sudah seminggu yang lalu berhenti berotasi. Bahkan sudah berhasil membuatnya kelabakan, waktu itu ia pikir bangun kesiangan dan terlambat belanja kebutuhan warung. Tapi ternyata memang penanda waktunya yang eror.

"Beli batre dulu, lah. Sekalian cari asupan malam." Arane menanggalkan dua undangan tersisa. Berdiri lalu mengambil kunci mobil dan jaket denim yang menggantung di balik pintu. Ia pun berangkat.

...

Pandega menutup pintu ruang kerjanya dan mendapati salah satu tim desainernya bersama Debbie masih berkutat di atas sofa.

"Masih ngerjain yang mana?" ia menghampiri dua perempuan tersebut.

"Atas nama Arane dan Rangga, Mas." saut Debbie.

"Besok tenggatnya?"

"Iya, sore mau diambil sendiri sama ibunya." saut Debbie lebih lanjut.

Pandega mengangguk, memakai jaketnya dan berpesan pada mereka untuk tidak pulang terlalu larut.

"Hati-hati, Mas." pesan Debbie dan si desainer mengantar langkah pulang Pandega.

Pandega memacu kuda bermesinnya, melintasi aspal jalanan yang dirayapi berbagai jenis kendaraan. Sesekali menurunkan kecepatan kala menyusuri underpass bersama kendaraan lain. Tiba di persimpangan antrean kendaraan membeludak imbas jam pulang kerja. Petugas pengatur jalan sampai kewalahan merekayasa jalur agar kemacetan terurai.

Pandega mengurai napas berat sembari menyela celah-celah kendaraan besar di depannya. Suara klakson saut-menyaut dan beberapa kali pekikan kemarahan terlontar dari para pengendara yang sedang buru-buru. Beginilah realitas jalanan kota yang menjadi makanan sehari-hari para penduduk.

Bebas dari kemacetan di persimpangan, Pandega menambah kecepatan. Bersusul-susulan dengan pengendara lain yang searah. Hanya butuh beberapa menit lagi dan sampailah ia di depan teras rumahnya yang berbatasan langsung dengan jalan gang. Seorang anak laki-laki usia sekitar dua belasan segera membukakan gerbang untuknya.

"Aku pulang, Bu..." melepas helm, Pandega menyalimi wanita paruh baya yang muncul dari dapur.

"Ibu masakin air panas buat Kamu mandi." ujar si wanita paruh baya alias sang ibu.

Anak laki-laki yang tadi membuka gerbang untuk Pandega kini sudah berlari ke lantai atas membawa gawai di genggamannya.

"Dierja udah ngerjain PR-nya, Bu?" Pandega bisa menebak sang adik bungsu bergegas naik pasti karena ingin memainkan game online.

"Sudah, tadi dikerjakan langsung di sekolah sama teman-temannya. Kamu segera mandi sana, Ibu siapkan makan malam." ujar si ibu sekaligus memerintahnya.

Pandega menarik simpul di bibirnya sebelum mengangguk. Tidak berselang lama setelah Pandega memasuki kamarnya, terdengar deru motor lain menyusul masuk ke rumah.

UNDANGANPHOBIA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang