Hening, tak ada sepatah kata pun terucap sepeninggal Pandega yang pamitnya akan mengurus administrasi. Padahal, Renjana sempat menyampaikan bahwa seluruh biaya administrasi telah ditanggung seseorang saat sang sulung akan keluar. Tapi pria dewasa itu terus melanjutkan langkah.
"Kamu pasti dimarahin Masmu, kan?"
Si bungsu dalam pelukan ibu mengangguk antusias.
"Maafin Mas Renja, ya, tadi lupa manggil Kamu saking paniknya." ketimbang memarahi sang adik, Renjana lebih merasa bersalah meninggalkan Dierja apalagi sampai dimarahi oleh si sulung. Kalau saja ia sempat memanggil Dierja dan membawanya, pasti akan lain cerita.
Dierja hanya memangguki permintaan maaf si kakak kedua. Setidaknya Renjana tidak ikut memarahinya, ia lega.
"Nanti Ibu akan mengajak Masmu bicara jika sudah tenang. Pikirannya pasti berkecamuk sampai meluapkannya padamu." tutur Larasati menenangkan.
Atmosfer keheningan kembali menguar, sampai suara ketukan pintu mengalihkan atensi mereka ke pintu.
"Boleh Aku masuk?" Arane melongokkan kepalanya.
"Silahkan, Mbak. Sini, sini!" antusias Renjana menyambut.
Sedikit mengangguk canggung, Arane memasukkan seluruh badannya ke bangsal.
"Ibu, sudah lebih baik sekarang?" tanya Arane sesampainya di dekat Larasati.
"Sudah lebih baik, Nak Rane. Terima kasih, ya, sudah menolong Saya dan mengurus semuanya. Kami nanti akan membalasnya." balas Larasati merespon ramah.
Arane menggeleng-geleng kepala, "Ibu sudah lebih baik saja bagi Saya cukup, tidak perlu ada yang harus dibalas." sanggahnya.
"Tapi tetap-"
Usapan lembut tangan Arane pada tangannya membuat Larasati dapat merasakan bagaimana ketulusan perempuan tiga puluh tahunan tersebut.
"Oh, si bungsu sudah di sini?" atensi Arane mengarah pada Dierja yang ikut berbaring di samping sang ibu sambil tenggelam dalam pelukan.
"Baru aja dateng sama Masku, Mbak." timpal Renjana.
Arane mengangguk paham, matanya bergerilya mencari eksistensi sosok si sulung dalam keluarga Renjana.
"Lagi keluar, mungkin lagi debat sama bagian admin, Mbak."
Sepenuhnya atensi Arane teralih pada Renjana yang mendiami sofa.
"Debat buat apa?" kedua alis Arane nyaris bertaut.
"Mungkin-"
"Bagaimana bisa biaya admin ditanggung-"
Astaga ... kenapa harus orang menyebalkan ini lagi?
Protesan oleh sosok yang masuk tanpa aba-aba sukses mengambil penuh perhatian orang-orang di dalam.
"Ngapain Kamu ada di sini?" pertanyaan bernada sinis Pandega lontarkan pada Arane. Membuat Renjana dan dua anggota keluarganya menyerngit bingung.
"Dia orang yang menanggung biaya itu, Mas." saut Renjana masih tergambar kebingungan di wajah.
"Orang ini?" tunjuk Pandega tepat ke muka Arane, terdengar jelas nada ketidaksukaannya.
"Dega, jaga sikapmu. Nak Arane yang telah menolong Ibu, harusnya Kamu berterima kasih padanya." tegur sang ibu meski tak tau mereka memiliki keterlibatan apa.
Sudut bibir kiri Arane menyungging, merasa senang ada yang memihaknya.
Ganteng? Ingin rasanya Arane meludah ke depan orang yang kata Renjana tergolong tampan tersebut. Untung saja ia tidak penasaran atau apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNDANGANPHOBIA [TAMAT]
RomanceKesal lantaran sang anak selalu mengacaukan rencana perjodohan yang ia siapkan, Reny nekat membuat undangan atas nama Arane sang anak. Bermula dari sana, semesta mempertemukan Arane dengan Pandega yang amat sangat membenci orang seperti Arane karena...