24

669 87 22
                                    

Membiarkan motornya terparkir di depan kafe, Pandega mendadak jadi reserse tak berbayar. Entah, energi apa yang menyeretnya masuk ke department store, tempat si puan bersama lelaki muda. Ada perasaan tidak rela ketika si puan dirangkul mesra oleh si pemuda.

Hei, Pandega tak pernah seintim itu dengan Arane!

Buru-buru Pandega mencari tempat sembunyi begitu si target mengedarkan pandangan ke belakang. Melakukan tindakan konyol demi aksinya tidak ketahuan.

"Anda tertarik dengan ini?"

Pandega terlonjak begitu seorang pramuniaga mendatangi sambil menunjuk barang yang dia pakai perlindungan.

"Tas ini sangat cocok untuk istri atau kekasih Anda."

Pandega mengembalikan kewarasannya, melirik label harga dan hampir terlonjak lagi. Harga fantastis yang akan membuat dompetnya menangis.

"Kami memberi diskon khusus bagi pria yang ingin menghadiahkan tas ini untuk pasangannya." tutur si pramuniaga penuh persuasif.

Pandega yang kadung kepergok hanya bisa melengkungkan bibir, memutar otak agar gengsinya tidak jatuh dan dicap tidak mampu.

"Pembayaran bisa dilakukan-"

"Maaf, tapi pacar Saya laki-laki." sela Pandega kini ganti si pramuniaga syok.

Mengembalikan tas pada si pramuniaga yang masih mengalami keterkejutan, Pandega segera menyusul jejak si target yang hampir hilang.

"Kak, ngerasa gak sih kalo kita kek dibuntutin?" ujar Delvin berfirasat.

Yeah, Arane putuskan mengajak si sepupu untuk mengobati rasa kekecewaannya pada Pandega. Hanya bocah itu yang bisa ia andalkan saat ini.

"Kebanyakan nonton film thriller, sih, makanya jadi paranoid." ledek Arane.

"Ih, beneran, Kak! Coba kakak pura-pura nengok belakang, arah jam satu." imbau Delvin karena sejak tadi ekor matanya mengawasi sosok mencurigakan di belakang mereka.

Meski agak malas, tapi coba Arane turuti. Dan hasilnya, tidak ada hal mencurigakan selain sosok mirip pria yang kembali berstatus menyebalkan. Ah, Arane jadi teringat Pandega dan kekecewaannya.

"Kita ke tempat lain aja, yuk. Aku tiba-tiba gak mood di sini." ujar Arane.

"Beneran, kan, kita dibuntutin?"

"Makin halu!" Arane jitak batok kepala Delvin sampai si sepupu meringis kesakitan.

"Aku laporin Kakek, nih, kalo Kakak masih hobi nganiaya Aku!"

"Tukang ngadu! Udah, ayo, cabut!" Arane menyeret Delvin pergi sebelum dia makin dihantui sosok Pandega.

Pandega mendesah lega, kali ini outlet aksesoris yang jadi tempat persembuyian. Beruntung dia punya keahlian berkamuflase cepat dan bisa berakting senatural mungkin seperti pembeli lain.

Merasa aman, pandega gerilya mencari Arane lagi, dan terlihat si puan malah menapaki eskalator turun ke lobi.

Kamu mau ke mana lagi, sih, Arane?

Lelah, Pandega putuskan berhenti lalu pulang.


...

Terhitung sudah ke-11 kali Arane mengecek gawai. Memupuk harapan akan sekata dua kata dari sang pria yang telah mengecewakannya minggu lalu. Sekedar basa-basi atau apa tak ia dapatkan.

Sesibuk itu, ya, Pandega?

Mengalah, Arane berinisiatif mengirim pesan lebih dulu. Detik bergulir detik, 20 menit kemudian ia baru dapat balasan berupa panggilan telepon.

UNDANGANPHOBIA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang