27

701 86 46
                                    

"Masih marah sama Saya?"

Pertanyaan yang sama selalu terdendang ke kuping Arane tiap menjawab panggilan Pandega. Ia masih marah, tapi Pandega hanya sebatas menanyakan tanpa tindak lanjut.

"Saya minta maaf, Saya salah. Tapi tanpa kejelasan dari Kamu, Saya bisa apa?"

Arane membiarkan Pandega bicara satu arah melalui sambungan telepon. Ini panggilan kesekian yang akhirnya Arane terima.

"Arane, kenapa Kamu diam saja? Kalau Kamu marah, katakan salah Saya di mana!" Pandega terdengar emosional.

"Tiga hari ini Kamu cuma nanya itu terus."

Arane baru menanggapi.

"Setidaknya Kamu bilang, apa salah Saya sampai Kamu mendiamkan Saya seperti ini." ulang-ulang Pandega tak jemu.

"Kamu gak salah, Aku yang-"

"Om Dega!"

Suara lain dari seberang yang sangat Arane kenali tergaung.

"Sebentar, Boy. Om Dega sedang-"

"Kamu keknya sibuk, Aku matiin!" sergap Arane segera memutus sambungan telepon.

Selalu, selalu seperti itu akhir perbincangan tidak langsung mereka. Arane sudah berbesar hati membuka komunikasi meski via telepon, tapi ujungnya Pandega tidak menjadikan kesempatan itu dengan baik. Hajat hidup sang mantan agaknya masih prioritas tertinggi bagi Pandega saat ini.

Tidakkah Pandega sadar bahwa yang Arane butuhkan saat ini afeksi dan atensi si pria tanpa kehadiran pihak lain?

Melihat Pandega menghubungi nomornya lagi, lantas Arane mematikan daya gawai. Melempar gawai itu ke sembarang arah, ia lalu meringkuk ke kasur. Masa bodoh gawainya rusak, toh ia bisa beli lagi.

...

Pandega berdacak kesal, kesekian kalinya pesan dan panggilannya terabaikan. Malah sekarang, nomor Arane tidak bisa dihubungi. Ia ingin pergi menemui si puan detik ini juga dan mengajaknya bicara. Namun kehadiran Jovan bersama adik dan ibunya tak bisa ia abikan.

"Baguskan gambarku, Om?" pamer Jovan menunjukkan hasil gambarannya yang ia buat di sekolah tadi.

"Bagus, pewarnaanmu rapi." puji Pandega sebisanya. Namun, anak itu cukup riang dengan sanjungannya.

"Kamu ada masalah, Ga?" Megantari yang baru saja kembali usai mengantre pesanan menyadari raut tak tenang Pandega. Mereka sedang di sebuah restoran cepat saji saat ini.

"Masalah kerjaan, udah biasa. Oh, ya, Aku gak bisa lama-lama nemenin kalian, abis ini Aku harus ketemu klien." sampul Pandega tak bisa berbagi cerita meski kepalanya pening.

"Gapapa, kamu bisa luangin waktu sebentar Kami udah seneng." Megantari terima begitu saja dan tak ambil pusing.

Tiga puluh menit Pandega menemani Megantari dan anak-anaknya. Masih 1 jam lagi jam temu dengan si klien, tapi Pandega segera pamit agar bisa menemui Arane terlebih dahulu.

...

"Mbak Rane gak ke sini hari ini, Mas."

Jawaban dari Renjana tersebut yang Pandega terima begitu tiba di warung Arane.

"Dia ngasih tau sesuatu, gak, kenapanya?"

Renjana menggeleng, "Mas Mafrur doang yang dikabarin tadi."

Pandega mengusap wajah kasar, ia capai jujur saja.

"Mas ada masalah sama Mbak Rane?"

"Hanya masalah komunikasi." singkat Pandega seraya beranjak.

UNDANGANPHOBIA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang