Pagi ini mentari masih malu-malu menyembulkan dirinya di balik awan kelabu ketika Pandega tiba di pemakaman umum bersama Arane. Melangkah, tangan kirinya menenteng kantung plastik bening berisi aneka kembang setaman yang telah dipersiapkan sang ibu. Sementara tangannya yang lain membimbing tangan sang puan hati menuju sebuah gundukan tanah.
Mereka sampai, berjongkok di jalan sempit yang memisahkan antarmakam, lalu bersimpuh seraya mencabuti rerumputan kecil yang menumbuhi sekitar makam. Setelah bersih ia menaburkan kembang setaman yang dibawanya diikuti Arane.
"Kita berdoa dulu, ya." bimbing Pandega kemudian menangkup tangan dan menyatukannya, ia menunduk penuh sambil memejam. Arane pun meniru di sampingnya.
Entah apa yang Pandega panjatkan hingga bahunya terlihat bergetar saat Arane selesai dengan doanya. Menyaksikan bagaimana sang pria begitu khusyuk, hati kecil Arane tersentuh. Ia semakin mantap dengan pria pilihannya kali ini, menghapus total keinginan mencari pria bermata biru di negeri orang. Pandega, pria menyebalkan itu benar-benar rumah yang selama ini ia cari. Sederhana, tidak banyak menuntut, dan menjadi sandaran yang pas untuk berkeluh kesah.
Larut mengagumi Pandega, Arane sampai tidak sadar pria yang ia lamuni usai berdoa dan kini menatapinya bingung.
"Kamu melamunkan apa?" suara sang pria sukses membangunkan Arane dari dunianya.
"Kamu." ujar Arane terbuka.
"Ada apa dengan Saya?"
Arane enggan menjawab, ia memilih melebarkan senyuman sambil kembali menghadap makam sang calon mertua.
"Pak, Saya Arane. Calon istri putra sulung Anda. Meski Bapak tidak bisa hadir di antara kami, tolong restui kami dari sana, ya. Bapak tidak perlu khawatir putra sulungnya ini akan menyakiti Saya, karena mungkin Saya yang akan sering menyakitinya dengan tinjuan maut ini." Arane menunjukkan kepala tangannya, Pandega di samping tidak kuasa membendung semburat senyum di bibirnya.
"Bapak tahu, Saya ini punya gelar khusus dari orang-orang terdekat Saya. Kata mereka, Saya ini titisan titan. Jahat sekali, ya, Pak?" Arane melanjutkan guyonannya, sengaja demikian untuk menghibur pria sandingnya.
"Pak, putra sulung Anda itu sangat menyebalkan. Harga dirinya setinggi langit, keras kepalanya mengalahkan keras karang, persepsinya terhadap orang seperti Saya begitu buruk, dan kalau baik ke orang susah sekali buat bilang tidak. Nyebelin banget, ya, Pak?" Arane curhat seakan-akan sosok bapaknya Pandega ada di depan mereka, mendengarkan sambil terus menyunggingkan senyum.
"Meskipun begitu, putra sulung Anda ini adalah seorang pekerja keras dan bertanggung jawab, menyayangi keluarganya, dan benar-benar menjadi sulung yang diharapkan. Bapak pasti sanga bangga, kan, dengannya? Saya pun begitu." mendengarnya Pandega kontan merunduk menyembunyikan semu di pipi.
"Terima kasih sudah mendidik Pandega menjadi seperti ini, Pak. Saya berjanji akan ada di sampingnya, menggantikan tangan Bapak untuk menjewer Dega kalau-kalau suatu hari plin-plan dan berbuat kelewatan. Saya juga akan memeluknya ketika dia lelah seperti yang Bapak lakukan semasa hidup." tutup Arane serta-merta dihadiahi pelukan oleh Pandega.
"Terima kasih," hanya itu yang Pandega lontarkan sebelum mengakhiri peluk.
Mengucap sepatah dua patah kata sebagai ucapan pamit, mereka lalu bangkit dan berlalu. Tempat tujuan kedua sudah menanti.
...
Menempuh hampir tiga jam penuh perjalanan, kini mereka disambut deburan ombak yang berlomba-lomba ke tepian sepanjang bentangan pasir hitam dengan pohon-pohon cemara menumbuhi bibir pantai.
"Woahhh ... udah lama gak ke pantai."
Arane membentang kedua tangan, mendongak, seraya memejam menghirup serta menikmati udara pantai. Sementara Pandega senantiasa melekatkan pandangan pada si puan.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNDANGANPHOBIA [TAMAT]
RomanceKesal lantaran sang anak selalu mengacaukan rencana perjodohan yang ia siapkan, Reny nekat membuat undangan atas nama Arane sang anak. Bermula dari sana, semesta mempertemukan Arane dengan Pandega yang amat sangat membenci orang seperti Arane karena...