|END|

1.5K 84 26
                                    

"Loh, Dega mana?"

Bibir yang semula mengembang itu kini menyusut, berubah mengerucut manakala obsidian netranya tak menemui sang tuan hati.

"Dia emangnya bilang mau jemput Kamu?"

Arane mendengus kecewa, bahkan sang mama tidak menahu kalau sang calon mantu membuat janji akan menjemput si anak. Kadung berekspektasi tinggi sang pria membentang tangan dan ia setengah berlari ke arah si pria, lalu saling menubrukkan diri dalam peluk rindu. Jatuh telak, pertemuan haru bak drama-drama itu tinggal bayang semu.

"Gapapa, nanti kan bisa ketemu di rumah." hibur Reny seraya mengajak sang anak memasuki mobil.

"Perlu Ayah marahi dia agar melegakan perasaanmu?" tawaran sang ayah sukses menerbitkan senyum Arane lagi.

"Tolong marahi Dega panjang kali lebar kali tinggi sampai kupingnya panas, Yah. Biar dia tau rasa!" pinta Arane meneruskan tawaran sang ayah yang tentu saja dalam ranah canda.

"Mama jewer sekalian, deh, biar Kamu makin lega." ujar Reny ikut menimbrung.

Suasana dalam mobil yang melaju meninggalkan area bandara itu pun cair, kelakar demi kelakar yang menjatuhkan nama Pandega mengisi perjalanan. Sesekali sang sopir yang fokus mengendalikan kuda bermesin tersebut turut menimpali kelakar mereka. Menambah bumbu-bumbu tawa hingga terbangunlah atmosfer positif yang alihkan rasa kecewa si bungsu.

Katanya Aku prioritas teratas, bohong! As you Kamu, Dega!

...

Arane menggeliat, badannya enggan bangkit dari kenyamanan ranjang meski sudah terlelap sepanjang hari. Ia raih gawai di nakas, mengecek kabar terbaru sang pria yang katanya tadi ada urusan mendadak di kota tetangga.

"Ngilang ke mana lagi, sih, pejabat ini?"

Mendecak sebal, pesan terakhirnya belum dibalas padahal sudah terbaca.

Memang, kini ia tidak dalam situasi darurat yang mengharuskan Pandega ada di sandingnya atau minimal komunikasi lancar untuk bertukar kabar. Namun sungguh, hatinya bertalu-talu ingin melihat rupa sang pria secara nyata. Bukan sekedar tatap virtual seperti yang mereka lakoni selama hampir 30 purnama ini. Apakah Pandega tidak merindukannya?

Mendesah, suasana batinnya makin kacau bila terus meladeni ekspektasinya yang beraneka-aneka. Lebih baik bangun lalu melakukan sesuatu yang bisa menghibur diri sekaligus membuang segala bentuk prasangka terhadap Pandega.

"Ma, Aku mau ke kafenya Endra." pamitnya sambil lalu. Sang sahabat yang kini menjadi bapak dari dua anak kembar itu mengundangnya ke Rehat Sejenak. Temu kangen, katanya.

Arane mengemudi dengan santai di tengah kemacetan imbas jam pulang kantor. Waktu tempuh diwaktu normal memakan 15 menit, sekarang memerlukan 25 menit dengan kecepatan yang sama. Tidak ada tuntutan diburu waktu untuk menemui sahabatnya tersebut, jadi aman.

Rehat Sejenak Café tampak penuh sore menjelang malam ini, padahal bukan malamnya para kaum jomblo bertapa alias malam akhir pekan.

"Di dalem, Mbak."

Tidak banyak penggubahan dari kafe ini, termasuk si pegawai yang membalas pertanyaan lewat tatapannya.

"Sahabatku kembali, nih!"

Rengkuhan Endra praktis ia dapat kala membuka pintu dan menjejak masuk.

"Nanti ada yang cemburu lagi," sindir Arane segera melepas rengkuh.

Endra lantas terkekeh sumbang, "Dia bahkan terus menanyai kabarmu ketika hamil si kembar." ujarnya bikin Arane tertawa.

"Definisi kurma itu manis, hahaha." canda Arane, terpintas wajah tak suka Debbie yang biasa ditunjukkan saat mereka bertemu.

UNDANGANPHOBIA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang