Sebuah hunian megah yang dikelilingi area persawahan jadi titik henti mobil Arane yang disetiri Pandega. Hunian dengan dua bangunan terpisah tersebut milik Rahardja, kakek Arane. Mereka datang ke sana sore ini untuk membahas daftar tamu yang ingin diundang oleh Rahardja.
"Hei, anak pungut! Ngapain Kamu nginjekin kaki ke rumah ini? Ingin minta jatah warisan, iya?!"
Baru menapaki perundakan selasar hunian sang kakek, Arane sudah disambut dengan kalimat pedas bernada sarkasme.
"Halo, Tante Maria yang paling suci tak berdosa di dunia ini. Hanya orang-orang yang mengharapkan kakek tiada yang meminta warisan. Sedangkan Aku, ingin kakek berumur panjang." Arane membalas setimpal. Sedang Pandega di sisinya hanya bisa mengeriputkan kening, bingung sekaligus terkejut. Ramah sekali sambutan wanita yang Pandega taksir berusia diangka 40-an tersebut.
"Lancang sekali bicaramu pada orang tua!" hardik Maria, murka pada sang keponakan. Yeah, wanita yang sedang bercekak pinggang ketika Arane dan Pandega datang itu merupakan adik bungsu Puguh, atau lebih tepat ibunya Delvin.
"Oh, udah ngerasa, ya, bentar lagi mencium bau tanah." Arane masih dengan kata-kata mengandung cabai rawitnya.
"Kurang-"
"Cukup, Maria! Tidakkah Kamu malu ribut di depan calon cucu menantuku?!" Rahardja datang menyela, nadanya terdengar meningkat.
"Dia yang kurang ajar, Kek." bela Maria, ia malu juga tidak terima dimarahi di depan orang lain.
"Sadarlah wahai manusia, Kamulah yang memancing. Oops, bener manusia gak, nih?" pandainya Arane menyulut bensin yang telah tumpah. Hitung-hitung sebagai ajang balas dendam akan perlakukan tidak mengenakkan, cenderung buruk, dari sang bibi julid selama ini. Hingga ia enggan mengunjungi sang kakek.
"Rane ..." panggil Rahardja mengingatkan.
"Hehehe ... iya-iya, Kek. Maaf. Maafin Aku Tante Maria yang terhormat." ujarnya sambil setengah membungkuk, tapi hal itu menambah kadar kejengkelan Maria.
"Ayo, ke paviliun Kakek!" Rahardja tak ingin pertikaian saudara yang sukar didamaikan ini terus ditonton sang calon cucu menantu. Maka ia ajak mereka segera pergi.
Sambil mengekori sang kakek, sempat-sempatnya Arane memeletkan lidahnya ke arah Maria. Dia tertawa puas dalam hati melihat Maria menahan untuk tidak menjambak rambut sang keponakan.
"Kamu baik-baik saja?" Pandega memegang sisi kanan wajah Arane sambil mengusapnya lembut dengan ibu jari.
"Kamu ngelindur atau gimana? Aku baik-baik aja." ujar Arane malah bingung sendiri. Saat ini mereka ada di depan mobil, bersiap pulang setelah berdiskusi serta mengobrol dengan Rahardja hampir 2 jam lamanya. Mereka hampir diminta tinggal dan menginap jika saja Arane tidak ada janji temu dengan seorang pasien.
"Perkataan Tante Maria tadi," Pandega beri petunjuk, lantas Arane kontan paham.
"Dia gak salah, kok. Emang bener Aku anak pungut." seketika kerut tercipta di kening Pandega.
"Bahasa halusnya Aku ini anak adopsi, Dega."
Jelas sekali kekagetan terpancar di wajah sang pria, sama sekali Arane belum mengungkap fakta ini.
"Aku ceritain, deh, tapi sambil jalan. Kasian pasienku nunggu, ya?" pinta Arane yang paham Pandega butuh penjelasan lebih lanjut.
"Iya,"
...
Entah sudah keberkian kali Reny menyeka bawah pelupuknya yang merembas cairan bening. Sapu tangan sang suami sampai terasa lembab bekas sekanya berulang-ulang.
Ia menangis suka cita, bersyukur masih diberi kesempatan menyaksikan sang bungsu diantar sang suami menuju altar. Mengucap ikrar suci sehidup semati dengan pria pilihannya di hadapan pemuka agama dan para saksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNDANGANPHOBIA [TAMAT]
RomanceKesal lantaran sang anak selalu mengacaukan rencana perjodohan yang ia siapkan, Reny nekat membuat undangan atas nama Arane sang anak. Bermula dari sana, semesta mempertemukan Arane dengan Pandega yang amat sangat membenci orang seperti Arane karena...