15

793 96 12
                                    

Sial!

Pandega memandang sebal tas jinjing merek kenamaan yang teronggok di meja. Tas itu harusnya sudah kembali ke sang empu, tetapi luput ia bawa. Menambah beban saja!

"Dega..."

Suara panggilan sang ibu yang terdengar di depan pintu sekoyong-koyong membuat Pandega menggapai tas jinjing itu dan menyembunyikannya di balik bantal.

"Iya, Bu?" Pandega memasang wajah sok tenang, membuka pintu untuk sang ibu.

"Ibu mau ke rumah bulikmu." sampai Larasati mengubah raut sang sulung seketika.

"Kenapa Ibu harus ke sana?" pertanyaan bernada ketus itu menggambarkan bagaimana perasaan Pandega saat ini. Dia mengingat benar setiap luka yang pernah digoreskan oleh adik keponakan dari mendiang ayahnya.

"Bulikmu sakit, anak-anaknya tidak ada di rumah. Hanya kita saudara terdekatnya." Larasati coba memberi pemahaman pada sang anak yang telah terselimuti rasa dendam.

Pandega melengos, menyunggingkan senyum miring sembari mendengus pendek.

"Ibu berangkat." pamit Larasati tanpa menunggu persetujuan sang anak.

Pandega menoleh cepat, memandang baik-baik punggung ringkih sang ibu yang melewati pintu lalu naik ke jok belakang bersama Renjana.

Mengapa mudah sekali bagi Ibu memaafkan orang yang telah jahat pada kita?

...

Kaki itu melangkah terseok seturunnya ia dari sebuah taksi. Pemilik langkah terseok tersebut baru pulang dari pengembaraannya dan mampir sebentar ke tempat orang tuanya, baru kemudian kembali ke hunian pribadi.

Gerak langkahnya berhenti, matanya memicing ke suatu titik. Seperti tidak asing dengan gelagat serta suara yang dikeluarkan oleh seseorang di sana. Pun ia memutuskan mendekat.  

"Eh, panjang umur Mbak Rane, baru aja diomongin. Nih, Mbak ditungguin pacarnya." lontar satpam yang biasa berjaga malam di gedung apartemen ini.

"Kamu ngapain di sini?" Arane tak menggubris si satpam. Ia fokus pada seseorang yang kemarin-kemarin meminta ia untuk menjauh dari keluarga seseorang tersebut.

"Mau ketemu Kamulah, Mbak. Udah ditungguin dari setengah jam yang lalu." bocor si satpam kini diacuhkan Arane.

"Saya ingin mengurus sesuatu denganmu." si seseorang itu lantas angkat bicara.

Arane mendecih, ia kira dengan memberi bukti pembayaran tanpa menyertakan ke mana harus ditransfer akan membuat si kepala batu itu menyerah dengan keegoannya. Dan ternyata salah.

"Ayo," ajak Arane tak lupa memamiti si satpam.

Suara denting itu menandakan lift telah sampai pada lantai tujuan. Arane melangkah lebih dulu memimpin arah, sedang Pandega mengekori. Setibanya di depan pintu sebuah unit, Arane memasukkan beberapa digit angka dan terdengarlah nada khusus yang menandakan kunci pintu terbuka.

Tangan itu baru saja akan menarik gagang pintu dan membukanya lebar. Namun, secepat mungkin pintu itu kembali ditutup tapi tidak sampai terkunci.

"Tunggu dulu bentar." intruksinya kemudian bergegas masuk dengan celah pintu hanya selebar badannya.

Astaga ... hampir saja Arane menanggung malu amat sangat dengan kondisi huniannya yang bisa disamakan seperti habis terdampak gempa besar. Jadwal bersih-bersih unit yang seharusnya dilakukan pascajenguk Larasati gagal dilaksanakan dan beginilah jadinya.

Kondisi ruang tamunya sedikit lebih baik dengan jurus kilat. Lantas ia kembali membuka pintu dan mempersilahkan Pandega masuk.

Mencerminkan pemiliknya sekali...

UNDANGANPHOBIA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang