06

870 87 6
                                    

Pada akhirnya Pandega memutuskan untuk memilih rak dinding yang direkomendasikan pihak pelayan. Senyum kemenangan sesekali terukir bila mengingat perempuan gendut egois dan angkuh yang baru saja keluar outlet usai melakukan transaksi pembayaran.

"Terima kasih, semoga berkenan datang kembali ke toko kami." ujar sang kasir menyerahkan bukti pembayaran.

Pandega pun hanya memberi anggukan.



Keesokan harinya,

Mengenakan kaos polos abu muda, blazer abu tua dan celana bahan dengan potongan yang pas berwarna putih dilengkapi slip-on putih Pandega menghadiri suatu acara. Dari sorot matanya, ia menangkap dua cicit adam-hawa yang disatukan dalam sebuah janji suci tampak sedang memandang satu sama lain sembari menyemat cincin perak di jemari masing-masing.

"Mas, sini!" Dimas, anggota tim desainer yang sempat cuti karena sakit seminggu yang lalu itu memberitahu Pandega lirih. Menyisihkan satu kursi kosong di sampingnya bersama pegawai Sabitah Wedding Art yang lain.

Pandega mengangguk seraya mengayun slip-on putihnya menuju ke sana. Ia duduk dan mengobrol singkat dengan Dimas mengenai keterlambatannya.

Acara terus berlangsung. Tepuk tangan serta sorak semarai dari para tamu terdengar meriah kala si pengantin pria menangkup pipi si pengantin wanita lalu mengecup bibirnya lembut. Rona merah menjalar di pipi pasangan sah itu begitu para tamu undangan meminta adegan tadi diulang sekali lagi.

"Deb, gak usah malu-malu!" lantang Nasyita dan Dimas bersamaan, makin membuat si pengantin wanita tersenyum malu.

Pandega yang melihat kelakuan para karyawannya itu hanya bisa bersedekap sambil menggeleng heran.

Kini acara yang mengusung konsep rustic dengan sentuhan klasik-modern kembali berangsur khidmat. Pasangan sah itu diarahkan oleh MC untuk menjalani satu set lengkap upacara tradisi sesuai suku keduanya. Debbie sang ratu dalam acara hari ini terlihat sesengkukan usai melewati segala prosesi adat dan diakhiri dengan memeluk orang tua yang hanya tinggal sang ibu semata. Suasana haru pun tercipta.

"Aku pingin segera nikah sebelum orang tuaku gak lengkap, tapi jodohnya belum nemu. Malah kabur mulu." curhat Dimas yang ikut larut dalam suasana.

Pandega yang mendengar lantas menepuk pelan pundak sang karyawan.

Aku bahkan belum sempat menghadirkan seseorang kala itu...

...

Arane melangkah santai, memasuki sebuah bangunan bercat putih yang telah didekorasi sedemikian rupa dengan dominasi bunga putih berhias dedaunan hijau. Ayunan kakinya sampai di halaman belakang gedung. Tampak orang-orang berkumpul menunggu sepasang cicit adam-hawa yang akan melempar buket bunga ke arah mereka.

Kurang kerjaan aja ngerebutin bunga, cibirnya membatin.

"Bersiap, ya. Satu ... dua ... ti ... ga!" sesuai aba-aba, pasangan pengantin baru yang membelakangi para tamu melambungkan buket bersama.

Berduyun-duyun tangan terangkat ke langit hendak menyambar buket bunga dengan cepat. Mereka percaya, siapa pun yang mendapat buket itu akan segera menyusul sang pengantin saat ini.

Hap!

Buket bunga telah mendarat pada satu orang yang nyatanya sama sekali tidak mempercayai mitos tersebut.

Seluruh pasang mata menyorot ke satu titik sekarang, sedang yang disorot mengerjap-ngerjap bingung.

"Wahhh... Mas Dega akan segera menyusul, nih!" teriak salah satu orang dalam kerumunan.

Apakah dunia sesempit ini? Astaga ... mahluk menyebalkan itu...

Arane membuang napas jengah, heran pada semesta yang seakan sengaja mempertemukan mereka kembali.

Berpura-pura tidak menyadari dan berlalu begitu saja, namun Pandega sudah menyadari kehadarinnya. Pria yang tengah hangat dibicarakan karena mendapat buket itu bahkan mengikuti ke mana Arane pergi lewat ekor matanya.

"Sahabat laknatku akhirnya nongol juga. Istriku, kenalkan dia-"

"Kamu lagi?!"

Endra yang hendak menyambut sekaligus mengenalkan Arane malah dibuat terperangah oleh reaksi sang istri.

"Siapa, ya?" balas Arane belagak tak kenal.

"Kamu anaknya klienku yang bikin ribut di galeri kami, kan?! Ngapain Kamu ke sini, hah!" istri Endra menunjukkan reaksi keras. Masih tercetak jelas di ingatan bagaimana Arane merendahkan usaha mereka.

Arane mendecih, tidak guna berakting lagi. "Bagus kalo situ masih inget!"

"Tunggu, sebenarnya ini ada apa? Kalian saling kenal?" Endra di tengah keduanya mencari kejelasan.

"Kami mengenalnya sebagai tukang gaduh." sebuah suara menyaut, itu milik Pandega.

Arane praktis melotot tajam pada si penyaut, "Dan Aku mengenal mereka sebagai pengeruk keuntungan semata!" balasnya tak kalah terima.

"Pengeruk Kamu bilang? Jangan sembarangan bicara!" luap istri Endra membela nama baik galeri mereka.

Endra menggenggam tangan sang istri, meredakan emosi yang tersulut kehadiran Arane. "Tenang, sayang. Ini hari pernikahan kita." bujuknya dan perlahan berhasil.

Aktor utama penyulut keributan saling berbagi senyuman miring, menghina satu sama lain lewat pancaran mata.

"Supaya jelas, boleh Aku tau masalah yang sebenarnya hingga kalian bisa saling kenal?" pinta Endra dengan kepala dingin.

"Turunkan ekspektasimu soal saling kenal. Mereka hanyalah pengabul ide gila Mama yang pernah kuceritakan." ungkap Arane lebih dulu.

"Undangan pernikahanmu dan Rangga?" Endra mengonfirmasi.

"Sungguh kesialan bagi kami harus terjebak pada masalah pribadi mereka." Pandega yang menanggapi.

Arane menghunus tatapan tajamnya tak suka.

Endra menahan bibirnya yang berkedut ingin menertawakan sumber keributan tersebut. Mengingat ada sang istri, ia hanya berani mesem lebar.

"Kita nikmati makanan di dalam sambil kenalan, gimana?" tawarnya daripada mereka ribut lagi.

Demi kebaikan bersama, semua pihak setuju.

Arane membuang muka ke samping, mendadak mual melihat kemesraan yang dipamerkan sang sahabat bersama sang istri tepat di seberangnya. Mereka saling menyuapi seraya menatap penuh damba.

Sial, harusnya ia tidak usah duduk di seberang mereka.

"Maaf, ya, tapi jangan iri." lontar Endra sengaja memanas-manansi sambil terkekeh renyah.

Arane mendesis, kurang ajar sekali sahabatnya itu!

"Oh, iya! Terima kasih untuk kado yang Kamu kirim kemarin. Belum kami buka, tapi Aku yakin kadomu tidak mengecewakan." sampai Endra secara langsung meski kemarin sudah menyampaikan lewat pesan.

Seseorang yang duduk sederet dengan si pengantin baru tampak menahan sudut bibirnya agar tidak tertarik lebar.

"Hemm..." Arane malas menyauti. Tidak tahu saja bagaimana kemarin ia mencak-mencak di kamar usai membayar 8 kali lipat untuk satu set bad cover.

As you! Lihat saja pembalasanku!

Umpatan serta sumpah serapah hanya mampu Arane redam di batin saat ia menyaksikan sendiri Pandega diam-diam menertawakannya.

Aku tidak pernah sebahagia ini melihat penderitaan orang lain.

Segini dulu...

UNDANGANPHOBIA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang